Tidak, Kawan. Aku tidak menyerah begitu saja pada nasib yang melemparkanku begitu saja ke dalam kehinaan hanya karena kekhilafan sedikit saja. Memang manusia tidak boleh khilaf? Aku manusia biasa, Kawan. Aku bisa tergoda rayuan setan jahanan lewat gemuruh cinta yang membiusku ke dalam kebahagiaan semu. Kini saat aku sadar, aku telah jatuh ke titik nadir yang sudah kukatakan tadi. Nah, kalau dunia tempatku berpijak kini begitu muak padaku, aku tak punya plihan lain selain yang satu ini: pulang!
Aku pulang untuk menapaki jejak-jejak masa kecilku. Masa di mana ayah ibuku selalu berlimpah kasih sayang padaku. Masa di mana aku bisa mencumbui hujan yang luruh dari langit dengan tarian lonjak-lonjak penuh kegembiraan. Masa itu adalah episode terindah dalam hidupku, dan aku ingin merengkuhnya lagi. Aku ingin kembali tersungkur dalam buaian ibuku dan pasrah dalam peluk perkasa ayahku. Ah, aku benar-benar ingin pulang.
Dua puluh tahun lalu aku pernah melewati jalanan becek ini. Berbekal restu ayah-ibuku, kutantang nasib agar aku tak terbelenggu dalam pusaran arus kemiskinan yang menyiksa.
“Ayah, ibu. Anakmu berangkat. Aku akan mengejar cita-citaku seperti yang ayah-ibu nasehatkan. Jangan pernah takut pada bayang-bayang di tengah kegelapan! Melangkahlah, terus kejar cita-citamu hingga ke puncak pencapaian sebuah kesuksesan!” kata ayah waktu itu.
Sudah berapa kambing milik ayah terjual. Berapa liter keringat ayah menyatu dalam gabah dan jagung telah terperas, semua untuk menebus cita-citaku. Lalu, jarit ibu, yang bermotif batik unik itu pun sudah berapa lembar yang hilang tak tertebus di pegadaian. Aku tak bisa menghitungnya. Lebih-lebih, bait-bait doa yang selalu mengiringiku ke mana pun aku melangkah saat aku mencari ilmu, bagaimana menghitungnya. Komputer pun tak mampu menakar keikhlasan ayah-ibuku memberikan kasih sayangnya kepadaku.
Lalu ketika aku telah sampai di puncak, tiba-tiba ada suara halus memanggilku, menawarkan kemewahan duniawi. Semua seperti hilang begitu saja. Ayah-ibuku tak lagi terlihat bayangannya di mataku. Mataku tersihir oleh kenikmatan yang ternyata hanya sihir jahat yang sengaja mengajakku ke jalan gelap.
Ah, maafkan aku, Ibu! Maafkan aku, ayah! Aku anakkmu. Bagaimana pun juga aku anakmu. Dunia mengutukku sedemikian rupa. Aku ingin bersimpuh di hadapanmu!
Jalan yang berkelok seperti dulu juga. Dua puluh tahun yang lalu seperti kemarin saja. Pohon jambu di depan pos ronda masih seperti yang dulu. Pohon jambu itu masih rimbun dan berbuah lebat dengan ulat gemuk-gemuk di dalamnya. Saat kupetik, rasanya masih sama. Apa arti dua puluh tahun bagi kampung di tepi Gunung Wilis ini. Bukit yang kulihat sekarang juga tetap tidak berubah: berdiri dengan angkuh.
Saat aku kecil, inilah jalanku melarikan diri dari kejaran mandor tebu. Kami waktu kecil bersama teman-teman sebaya biasa mencari tebu di sawah yang disewa oleh pabrik gula. Kalau waktunya tebang tebu, aku, Budi, Mardi, Genduk, dan lain-lain akan mencari batang yang manis itu sebagai salah satu menu makanan kami. Namanya anak-anak, kami suka mencuri-curi tebu yang bagus saat Sang Mandor terlena. Dan ternyata, kadang mandor hanya memancing kami dengan pura-pura terlena. Saat kami mencuri tebu, secepat kilat mandor mengejar kami. Jangan ragukan kecepatan kami lari, Kawan. Kalau mandor lari secepat kilat, kami pun lari berkali-kali lipat darinya dan amblas menyelam di dasar sungai hingga beberapa menit.
“Mana, anak-anak bengal itu?” kata mandor bergumam sambil menahan amarah.
Ya. Jalanan ini, sungai di sisinya, adalah bukti nyata betapa aku telah menjalani pahit getir hidup sebagai anak kampung yang penuh romantika. Terbersit aku ingin kembali merasainya.
Akhirnya, sampai juga aku di depan pintu pagar bambu rumah ayah-ibuku. Dua puluh tahun aku meninggalkan rumah ini, sepertinya tidak ada yang berubah. Dari arah dapur kudengar suara ibuku batuk-batuk. Berarti, asma beliau belum sembuh juga, malah terdengar makin parah. Sedangkan dari dalam rumah kudengar suara ayah mengidungkan Caping Gunung-nya Gesang.
Dek jaman berjuang, njur kelingan anak lanang.
Biyen takopeni, njur saiki opo lali.
Jarene wis menang, keturutan sing digadhang.
Biyen nate janji, ning saiki opo lali.