Program ini dimulai tahun 2014 dan diharapkan seluruh warga Indonesia dapat masuk dalam kepersertaan pada tahun 2019. Pasal 14 UU BPJS tertulis kepesertaan besifat wajib bagi setiap warga negara Indonesia
dan warga asing yang sudah tinggal di Indonesia selama minimal enam bulan. Warga miskin pun akan diikutkan dalam kepesertaan yang preminya akan ditanggung oleh pemerintah melalui program bantuan
iuran.
Program ini tidak seperti Program Kartu Jakarta Sehat dimana pasien bebas berobat ke rumah sakit secara gratis. Misalnya ada prosedur yang jelas dimana pasien harus berobat dulu ke fasilitas kesehatan primer
(praktek dokter atau klinik yang bekerjasama dengan BPJS dan puskesmas). Bila memerlukan rujukan, barulah pasien diberi surat pengantar rujukan ke rumah sakit (RS) yang terdaftar BPJS.
Dengan adanya mekanisme seperti diatas, diharapkan hanya pasien yang benar-benar perlu rujukan yang berobat ke RS. Selama ini kadang batuk pilek biasa pasien ingin berobat di rumah sakit, sehingga terjadi
penumpukan konsentrasi pasien yang tidak efektif dan efisien padahal puskesmas pun bisa mengatasi penyakit-penyakit rakyat tersebut.
Banyak Harus Dibenahi
Program ini akan menggiring fasilitas kesehatan primer lebih ke arah dokter keluarga, walaupun pemerintah menegaskan tidak akan menerapkan sistem seperti ini. Pemerintah hanya mengadaptasi sebagian sistemnya
saja. Praktek dokter, klinik pratama dan puskesmas akan membawahi beberapa jiwa yang ada di wilayah tersebut.
Banyak kekhawatiran membayangi program ini. Mulai dari infrastruktur, tenaga kesehatan sampai anggaran yang akan membeludak. Bagi para tenaga dokter, skeptisme program BPJS terletak pada beban kerja yang tidak manusiawi (membludaknya pasien) tanpa diikuti dengan kenaikan penghasilan.
BPJS kesehatan di tahap awal, pemerintah akan menggelontorkan dana Rp 15,9 triliun dari APBN untuk menyubsidi asuransi kesehatan Rp86 juta warga miskin. September 2012, pemerintah menyebut besaran iuran BPJS Kesehatan sebesar Rp22 ribu per orang per bulan. Setiap peserta BPJS nanti harus membayar iuran tersebut, kecuali warga miskin yang akan ditanggung oleh pemerintah. Namun pada Maret 2013, Kementerian Keuangan dikabarkan memotong besaran iuran BPJS menjadi Rp19,255, dengan mempertimbangkan kondisi fiskal negara.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr. Zaenal Abidin menilai bahwa iuran untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp15.500 yang akan dibayar pemerintah itu belumlah ideal untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang layak. IDI telah mengkaji besaran iuran yang ideal berdasarkan pengalaman praktis dari PT Askes. Di situ tertulis, golongan satu sebesar Rp38.000.
Banyak RS Umum Daerah (RSUD) yang memiliki dana jauh di bawah rasio kecukupan anggaran, apalagi porsi anggaran Kementerian Kesehatan di APBN hanya berkisar 2,5 %. Jika diperhatikan, porsi anggaran Kementrian Kesehatan pada APBN 2013 ke APBN 2014 mengalami penurunan. Semula Rp 43 triliun, namun pada APBN 2014, angkanya justru turun menjadi Rp 33 triliun.
Tenaga medis khususnya dokter adalah masalah krusial lain. BPJS menghitung bahwa perbandingan ideal jumlah dokter umum dengan jumlah masyarakat adalah 1:5.000 (satu dokter menangani lima ribu
masyarakat). Sehingga mereka menghitung bahwa kebutuhan dokter untuk program ini mencapai 85 ribu orang dari jumlah itu ada 25 ribu dokter lagi yang harus direkrut. Soal lain adalah sebaran dokter. Kebanyakan dokter terkonsentrasi di pulau Jawa, padahal layanan BPJS meliputi seluruh Indonesia.
Pemerintah menetapkan bantuan iuran/premi asuransi melalui BPJS untuk 86 juta masyarakat miskin sebesar Rp 19.255/orang/bulan (Rp 42,7 triliun). Dengan asumsi satu orang dokter menangani 4.000 masyarakat penerima bantuan iuran itu, berarti nilai kapitasi (manfaat asuransi) yang dikantongi dokter tadi adalah Rp 924,2 juta per tahun.
"Nilai kapitalisasi yang didapat dokter rendah jika masyarakat yang ditangani sering sakit. Tetapi bisa diterima besar, jika masyarakatnya sehat," kata ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Zaenal Abidin.
Jika banyak masyarakat yang sakit, nilai kapitasi itu harus dipotong untuk biaya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit, klinik, atau sarana medis lainnya.
Program ini diperkirakan juga akan terkendala persiapan dan infrastruktur. Misalnya, jumlah kamar rumah sakit kelas III yang masih kurang 123 ribu unit. Jumlah kamar rumah sakit kelas III saat ini tidak bisa menampung 29 juta orang miskin. Untuk masalah ini, pemerintah belum punya solusi.
Pantaslah jika kalangan DPR menilai, BPJS Kesehatan akan jadi beban berat pemerintah. Mereka bilang pemerintah dan Indonesia belum sepenuhnya siap dengan program ini. Nah lho.