Kata militan merujuk kepada seseorang atau kelompok yang penuh semangat, agresif, bahkan ekstrem untuk mencapai suatu tujuan.
Ini yang terjadi pada kubangan politik negeri ini, terutama sejak pilpres 2014, pilkada DKI, hingga sekarang menjelang pilpres 2019. Diksi kubangan saya pilih untuk memantaskan dengan isi atau konten politik kontestasi yang terjadi; penuh kotoran, sampah dan daki-daki politik.
Agama diobral sedemikian murah, fitnah, hoax, membual, telah menjadi politik panggung yang biasa, tanpa merasa cacat moral. Dan, semuanya terus diresonansi secara militan, dipabrikasi secara sistematis, sehingga menjadi hidangan politik kubangan nan busuk, namun harum mewangi bagi para penikmatnya.
Sebagai orang yang tidak mendukung Prabowo---karena alasan rasional dan sangat waras---saya kerap terlibat diskusi bahkan sampai sangat panjang dengan para militan pendukung capres itu.
Saya akui mereka sangat militan, solid, dan tentunya sangat ngotot. Tidaklah mengherankan, karena kubu itu didukung PKS yang dikenal memiliki pendukung militan, serta kelompok Islam politik (konservatif) yang militansinya sangat-sangat tinggi.
Apalagi kelompok Islam politik konservatif ini punya agenda besar mewujudkan ideologi transnasional. Tujuan itu akan terwujud melalui kekuasaan. Makanya, mereka tentu sangat ngotot untuk menjadi bagian dari kekuasaan.
Meski kadang tanpa data atau wawasan literasi yang memadai, mereka tetap ngotot pendapatnyalah yang benar, pendapat orang lain pasti salah. Dan menariknya, isu-isu yang mereka pakai sebagai reason diskusi, dan ujungnya menjatuhkan kubu lain, seragam, yakni agama, komunis (PKI), asing-aseng, tenaga kerja asing, genetik capres lawan, hingga (keburukan) fisik capres kubu lawan.
Makanya, di awal saya katakan, istilah pabrikasi, karena mereka 'bekerja' seperti dikomando dirijen dalam sebuah 'konser' besar. Â Â Â Â Â Â
Ada dua pengalaman diskusi saya dengan mereka yang cukup panjang (karena sampai berhari-hari, dan mereka main keroyok hehehe), satunya lagi ujungnya lucu dan menghibur membuat saya tertawa berguling-guling.
Pertama, saya terlibat diskusi dengan seorang perempuan, yang secara tidak langsung ia mengaku seorang dosen. Dia dengan sangat ngotot soal agama (Islam) dan umatnya yang dipinggirkan, ulama dikriminalisasi, dan puncaknya Islam dinistakan oleh seorang bernama Ahok. Makanya, kata dia, saatnya umat Islam bangkit atas penindasan itu, dengan tidak memilih Ahok karena sesuai Al Maidah 51, serta menjungkalkan Jokowi di pilpres 2019 karena pendukung penista agama.
Debat terus-menerus lewat medsos, yang intens tercatat dua hari. Seminggu kemudian debat dilanjutkan lagi. Kepadanya, saya katakan, Ahok dinilai menistakan agama, oke saya bisa sepakat apalagi yang bersangkutan telah menjalani vonis pengadilan.
Tapi tentang yang lain, saya masih ajak dia berdebat. Salah satunya, tentang Al Maidah 51, terutama dalam hal konsistensi umat Islam menjalankannya. Pertanyaan saya ke dia, kenapa umat islam ambigu dalam menjalankan ayat suci ini. Kenapa di Pilkada DKI, ayat ini didogmatis secara massif untuk dituruti, tetapi di pilkada lain, justru tidak dipakai.
Saya kasih contoh pilkada di Kab Kep Sula Maluku Utara 2015. Kenapa PKS dan partai Islam lain mengusung calon non muslim, sarjana teologi hingga terpilih menjadi bupati. Ke mana Al Maidah 51? Bukankah ayat suci berlaku universal, tidak kasus per kasus atau lokal per lokal? Saya katakan, jangan sampai kita, umat Islam yang menista ayat sucinya sendiri. Demi kemenangan kontestasi politik di suatu wilayah, Al Maidah 51 digaungkan secara massif. Demi kemenangan kotestasi juga, di daerah lain Al Maidah 51 ditinggalkan.
Apa jawaban dia atas fakta yang saya sampaikan? "Itu kan urusan Anda dengan partai itu," jawabnya.  Halooo....ini masalah umat Islam, masalah ayat suci yang menurut saya dijual secara murah, ini masalah  serius umat Islam yang harus sikapi.
Ujungnya, dia mengatakan, akan mengakhiri karena menurut dia (dengan sombongnya), debat dengan saya tidak menguntungkan. "Hahaha....tidak menguntungkan atau kalah data?". Tapi, dia masih tetap menyampaikan kalimat propaganda, "Tunggu 2019, kami yang akan menentukan.", yang saya jawab dengan cengengesan, "oke deh...."
Debat kedua, dengan seseorang pendukung Prabowo, yang saya lihat dari postingannya, sangat kasar, penuh caci maki terhadap kubu lain, serta konten yang dia sebar juga sangat diragukan validitasnya.
Pada satu titik, diskusi kami menyentuh tentang isu PKI yang dia sebut relevan disematkan kepada Jokowi dengan berbagai reason, nan penuh asumsi. Wawasan literasinya tentang komunisme, PKI dan Gestok, terbatas versi Orba. Dia sangat orbais ketika berargumen tentang PKI dan Gestok. Lucunya, dia dulu mengaku aktivis mahasiswa yang menjungkalkan Orba hehehehe.
Dengan lantang, dia menyebut saya sebagai orang yang hanya mengidolakan aktivis-aktivis semacam Adian Napitupulu atau Budiman Sujatmiko. Dia pun dengan nyaring menyebut aktivis yang benar dan menjadi idolanya adalah Ratna Sarumpaet dan Fahri Hamzah.
Ketika saya coba ajak diskusi tentang skenario lain Gestok, di luar versi Orba, dia masih tetap ngotot. Ketika, saya sebut analisis Gestok merupakan mainan CIA untuk menguasai gunung emas di Papua, dia masih menyangkal dengan alasan berbelit-belit.
Ujungnya, ketika saya kemukakan tentang kecurigaan sejumlah analis kedekatan Soeharto dengan Letkol Untung, mulai di Kodam Diponegoro hingga di Jakarta---salah Soeharto sengaja hadir di pernikahan Untung-- dia tetap ngotot. Sebagai bukti Soeharto dekat dengan Untung, saya kirim foto yang menampilkan Soeharto tengah duduk santai dengan Ibu Tien, dan Untung. Saya minta dia berkomentar atas foto itu.
Dan jawaban tak terduga pun dia sampaikan. "Ya wajarlah mereka dekat karena sama-sama komandan batalyon."
What???????????? Akhirnya saya pun tertawa berguling-guling, membaca jawabannya.
Entah gimana nasibnya setelah Ratna Sarumpaet, sang pujaannya ternyata pembual nasional. "Eh Tong...ngapain bawa-bawa tambang di deket pohon nangka itu, aku maklumin deh, ga usah senekat itu." Hohoho.....