Merujuk pengertian berfikir kritis yang ditulis oleh Gunawan (2003:177-178) menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir pada level yang kompleks dan menggunakan proses analisis dan evaluasi. Artinya berfikir kritis bukan hanya “sekedar” berfikir, namun lebih dalam lagi, ia memanfaatkan segenap pemikiran dengan berbagai sumber input untuk membuat suatu kesimpulan. Seseorang yang memiliki daya fikir kritis akan terus berupaya menguraikan permasalahan sedemikian rupa dengan membuat berbagai asumsi atau hipotesis.
Sementara menurut Menurut Ruland (2003:1-3) berpikir kritis harus selalu mengacu dan berdasar kepada suatu standar yang disebut universal intelektual standar. Universal intelektual standar adalah standardisasi yang harus diaplikasikan dalam berpikir yang digunakan untuk mengecek kualitas pemikiran dalam merumuskan permasalahan, isu-isu, atau situasi-situasi tertentu. Universal intelektual standar meliputi: kejelasan (clarity), keakuratan, ketelitian, kesaksamaan (accuracy), ketepatan (precision), relevansi, keterkaitan (relevance), kedalaman (depth).
Melalui standar intelektual yang universal maka kemampuan berfikir menjadi lebih tajam dan akurat dalam membuat suatu kesimpulan. Argumentasi yang dibangun memiliki landasan yang kuat dan mampu memberikan nilai kepercayaan yang tinggi. Ketika nilai kepercayaan sudah tinggi, maka suatu kesimpulan dapat digunakan dan diterima oleh semua orang. Nah, begitu besar manfaat berfikir kritis, maka sudah sepatutnya dalam proses pendidikan di sekolah kecakapan tersebut diasah.
Zamroni dan Mahfudz (2009:23-29) mengemukakan ada enam argumen yang menjadi alasan pentingnya keterampilan berpikir kritis dikuasai siswa. Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat akan menyebabkan informasi yang diterima siswa semakin banyak ragamnya, baik sumber maupun esensi informasinya Kedua, siswa merupakan salah satu kekuatan yang berdaya tekan tinggi (people power), oleh karena itu agar kekuatan itu dapat terarahkan ke arah yang semestinya (selain komitmen yang tinggi terhadap moral), maka mereka perlu dibekali dengan kemampuan berpikir yang memadai (deduktif, induktif, reflektif, kritis dan kreatif) agar kelak mampu berkiprah dalam mengembangkan bidang ilmu yang ditekuninya. Ketiga, siswa adalah warga masyarakat yang kini maupun kelak akan menjalani kehidupan semakin kompleks. Hal ini menuntut mereka memiliki keterampilan berpikir kritis dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya secara kritis. Keempat, berpikir kritis adalah kunci menuju berkembangnya kreativitas, dimana kreativitas muncul karena melihat fenomena-fenomena atau permasalahan yang kemudian akan menuntut kita untuk berpikir kreatif. Kelima, banyak lapangan pekerjaan baik langsung maupun tidak, membutuhkan keterampilan berpikir kritis, misalnya sebagai pengacara atau sebagai guru maka berpikir kritis adalah kunci keberhasilannya. Keenam, setiap saat manusia selalu dihadapkan pada pengambilan keputusan, mau ataupun tidak, sengaja atau tidak, dicari ataupun tidak akan memerlukan keterampilan untuk berpikir kritis.
Keenam argumen tersebut menambah keyakinan mengapa berfikir kritis seyogyanya menjadi salah satu fokus perhatian pendidikan di sekolah. Berbicara pendidikan di sekolah, tentunya bukan hanya berada di ruang-ruang kelas. Proses pembelajaran dapat dilakukan di luar kelas, seperti yang dilakukan oleh SMA Labschool. Salah satunya adalah penelitian ilmiah yang diadakan dalam rangkaian kegiatan Trip Observasi.
Kegiatan penelitian ilmiah dilaksanakan pada 16 – 18 Oktober 2014 di Desa Sumurugul, Kecamatan Wanayasa, Purwakarta Jawa Barat. Diikuti sebanyak 250 siswa yang terdiri dari 26 regu. Ke-26 regu tersebut mendapatkan tema yang berbeda yang dibagi kedalam 2 kelompok bidang studi yaitu kelompok IPA dan kelompok IPS.
Proses penelitian sudah dimulai pada hari pertama mereka sampai di lokasi. Untuk bidang studi IPS mereka membuat kuesioner dan melakukan wawancara kepada penduduk desa atau subjek penelitian lainnya. Sementara untuk bidang IPA mereka melakukan eksperimen dengan alat yang telah disiapkan sebelumnya. Saat inilah proses berfikir kritis mereka mulai terasah. Betapa tidak mereka harus menyiapkan berbagai pertanyaan yang kritis terhadap permasalahan yang mereka buat. Mereka juga berupaya melalukan wawancara dengan berbagai teknik yang tentunya tidak mudah.
Pada hari kedua mereka mengolah data penelitian yang telah diambil sebelumnya. Dalam proses olah data ini mereka harus membaca berbagai sumber referensi untuk mendukung kesimpulan yang akan dibuat. Hasil olah data penelitian tersebut mereka tuangkan ke dalam display yang dibuat menggunakan bahan, baik yang telah dibawa maupun bahan dari alam yang mereka temukan di desa. Hasil olah data tersebut akan dipresentasikan pada hari ketiga. Ada dua tahap presentasi yang akan dilakukan. Tahap I, dibagi kedalam 4 regu besar. Pada tahap ini dipilih satu yang terbaik untuk masuk ke babak Final atau tahap II. Pada tahap ini, masing-masig regu terbaik melakukan presentasi terbuka, yang diikuti oleh semua peserta. Semua yang hadir pada saat presentasi berhak untuk bertanya kepada regu yang melakukan presentasi. Setiap presentasi akan dinilai oleh juri yang terdiri dari unsur siswa, OSIS dan unsur guru.
Ketika mereka melakukan presentasi di depan audiens maka mereka harus menyiapkan jawaban dari berbagai pertanyaan yang diajukan. Jawaban yang diberikan tidak hanya sekedar jawaban namun mereka harus membuat berbagai argumentasi ilmiah yang dapat meyakinkan si penanya dan audiens.
Demikian, ketika mereka sudah diberikan stimulus yang baik maka diharapkan respon yang terjadi adalah respon yang positif dan bermanfaat bukan hanya untuk masa sekarang namun masa yang akan datang.
Referensi:
Gunawan, Adi W. 2003. Genius Learning Strategy Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelarated Learning. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
Ruland, Judith P. 2003. Critical Thinking Standards University of Central Florida. Faculty Centre
Zamroni & Mahfudz .2009.Panduan Teknis Pembelajaran Yang Mengembang-kan Critical Thinking. Jakarta. Depdiknas