(Penulis Buku & Praktisi Homeschooling)
Menyoal masalah stunting di Indonesia memang sangatlah genting. Apa hubungannya dengan perkawinan anak yang diwacanakan harus dicegah? Benarkah itu satu-satunya penyebab terjadinya stunting di negeri ini?
Menurut data UNICEF dan WHO, ada 154 negara yang memiliki catatan stunting dan Indonesia menempati peringkat ke-27. Artinya, Indonesia menduduki urutan ke-5 di Asia. Memprihatinkan, bukan?
Dikutip dari kemenag.go.id–Ada sekitar 1.276 penghulu se-Jawa Barat turut serta dalam "Workshop Gerak Penghulu Sejuta Catin Siap Cegah Stunting Zona 1 (17/9/2024). Menurut Toto Supriyanto sebagai Ketua Tim Kepenghuluan Bidang Urais Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, ada beberapa poin yang disampaikan.
Salah satunya poin keenam yang mengatakan bahwa penghulu mencatat penolakan nikah karena usia di bawah umur. Intervensi kolaboratif yang kemudian harus dilakukan. Ada kolaborasi antara penghulu dan instansi terkait untuk sekolah pranikah. (17/9/2024)
Penyebab Stunting
Penyebab sesungguhnya stunting adalah kemiskinan. Di mana akses untuk makanan bergizi teramat sulit. Sama halnya dengan layanan kesehatan yang tidak mudah didapatkan yakni pentingnya kebutuhan air bersih dan urgensi sanitasi.
Menurut undang-undang yang berlaku, maraknya perkawinan anak menjadi sinyalemen hambatan menciptakan generasi yang berkualitas. Adanya perkawinan anak menjadi bukti banyak yang putus sekolah, kematian ibu dan anak yang semakin banyak, problematika stunting, kekerasan dalam rumah tangga, dan banyak lagi asumsi-asumsi negatif.
Jika tudingan demi tudingan tidak berdasar pada pertanggungjawaban data yang objektif maka semua hanya akan menjadi opini liar yang tentunya tidak bisa dibuktikan sebagai fakta. Sungguh mengerikan, ketika kebebasan diberikan ruang untuk beredarnya konten-konten pro seks bebas, tetapi di sisi lain untuk pernikahan yang halal diberikan rumitnya batas demi batas.
Ditambah lagi dengan PP Nomor 28 Tahun 2024 semakin membuka kanal kebebasan untuk penggunaan alat kontrasepsi dan aborsi. Seharusnya pemangku kebijakan fokus dengan serius untuk mengentaskan pergaulan bebas, bukan malah memberikan fasilitas. Menikah itu fitrah, sebaiknya pemerintah memberikan pendidikan yang kuat untuk membentuk pribadi bertakwa sehingga keluarga tangguh itu bisa diwujudkan secara nyata.
Ada program global/Barat yang dinamakan SDGs dan tentunya memiliki target agar diwujudkan di negara yang mayoritas penduduknya muslim. Program tersebut tentu saja bertolak belakang dengan syariat. Target tersebut di antaranya pencegahan perkawinan anak dan stunting bahkan ini menjadi proyek nasional dan RPJMN 2020–2024. Target penurunan angka perkawinan anak menjadi 8,74% di tahun 2024. Setelah sebelumnya menempati angka 11,2% di tahun 2018.
Kondisi yang tak kalah mengkhawatirkan adalah seks bebas yang terus naik signifikan. Dilakukan oleh pemuda dan pemudi di usia 15–19 tahun. Tentunya pembatasan perkawinan ini akan berakibat besar bagi penurunan kelahiran keluarga muslim. Pergaulan bebas semakin menghancurkan generasi muslim hari ini.
Jelas sekali bahaya pergaulan bebas–yang saat ini menjadi salah satu penyebab menikah muda–yaitu menyebarnya HIV/AIDS, maraknya perzinaan, aborsi yang masif terjadi, dan berbagai kerusakan yang begitu banyaknya. Tentunya kondisi seperti ini harus segera dihentikan agar tak mengundang azab Allah. Â
Larangan menikah muda itu tidak semestinya. Hal yang harus dilakukan adalah memberikan pembekalan agar siap menghadapi gerbang pernikahan dan mencetak generasi khairu ummah.
Pemahaman hidup sekularisme dan kapitalisme semakin membuat generasi muslim terpuruk tanpa nilai-nilai cemerlang. Mereka terjerumus arus kebebasan yang semakin liar. Seharusnya mereka dibentuk menjadi generasi terbaik yang bertakwa dan bermoral agama.
Solusi Komprehensif Menyelesaikan Stunting
Stunting hadir karena kemiskinan yang menuju titik nadir. Segala permasalahan yang dijabarkan di atas–seakan-akan penyebabnya adalah perkawinan anak–sejatinya itu bisa diatasi ketika pemerintah bisa mengoptimalkan dalam mengurus masyarakat.
Jika saja pemerintah bisa menyediakan makanan pokok yang berkualitas, terjangkau, dan bisa diakses oleh seluruh masyarakat di mana pun berada, tentu stunting akan berkurang bahkan bisa diselesaikan. Begitu pun pembinaan untuk keluarga agar anak-anak memiliki pola pengasuhan yang benar sehingga ketika mereka sudah balig dan menikah muda, kesadaran akan tugas, peranan, dan kewajibannya dalam membentuk sebuah keluarga sudah terdefinisikan dengan maksimal.
Problematika KDRT itu tidak hanya terjadi di pernikahan muda saja. Namun, mayoritas keluarga ada saja sekuel tentang kekerasan dalam rumah tangga. Peran negara sangat dibutuhkan agar pendidikan pernikahan ini benar-benar dipelajari.Â