Esensi pemikiran dari seorang RA Kartini bukanlah terkait pada persoalan derajat perempuan, akan tetapi emansipasi bagi semua kaum yang dilemahkan dan menjadi minoritas. Sosok RA Kartini juga ikut meletakkan pondasi Kebhinekaan dan toleransi dalam arti yang lebih dalam, yaitu persamaan derajat bukanlah hanya persoalan hidup berdampingan tetapi bagaimana kaum mayoritas bisa melindungi dan mengangkat yang lemah. Kemerdekaan Indonesia direbut dengan darah dan keringat, namun kedaulatan Indonesia diraih melalui jalur diplomasi. Gagasan kebangsaan dipicu oleh pikiran dan tulisan. Dalam embrio sebuah revolusi para pemikir, akademisi dan wartawan yang pertama kali ditangkap oleh pemerintah kolonial. Bagi Peringatan Hari Kartini, maknanya sama dengan Hari Kebangkitan Nasional, sama hal makanya dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda. Peringatan-peringatan itu menyadarkan kita bahwa membelenggu pikiran dan kita, bukanlah rantai atau ancaman senjata, tetapi pikiran itu sendiri. Perjuangan Kartini banyak yang mengira ia hanya memperjuangkan hak kaum perempuan. Selain itu, nasionalisme yang digagasnya pun masih sangat konseptual dan tercerai berai dalam tiap pucuk surat sehingga sulit diterjemahkan ke dalam dunia pergerakan. Kartini sejatinya tidak pandang bulu dalam emansipasi. Emansipasi Kartini lahir di tengah dominasi patriarki. Dalam konteks masyarakat Jawa konvensional yang menjadi tempat hidup Kartini, budaya paternalistik yang berkembang di masyarakat akhirnya membagi gender secara diskriminatif dan struktural. Pendidikan dan perempuan, kedua elemen yang berbeda namun tak dapat dipisahkan. Sistem pendidikan jika tak menyertakan perempuan maka itu bukan esensi pendidikan, karena pendidikan adalah bagimana menciptakan keadilan yang humanis. Karena dengan mengalienasi perempuan dari pendidikan, maka sama halnya dengan melanggengkan kebodohan untuk dominasi kekuasaan pada segelintir mahkluk. Salah satu permasalahan yang dianggap paling berat untuk perempuan ialah rekognisi pendidikan untuk perempuan, realitas yang umum dijumpai, perempuan selalu dipandang sebelah mata. Karena pendidikan untuk perempuan tak diterapkan secara fundamental, hanya sebagai formalitas semata atau lebih parahnya jika pandangan bahwa pendidikan untuk perempuan seharusnya tak diberikan sama sekali, agar tunduk pada sistem dan semakin terkungkung dalam penindasan.
KEMBALI KE ARTIKEL