Begitu indah jika menganalogikan proses kehidupan ideal sebagaimana proses tumbuhnya tanaman. Saya teringat ketika dulu masih bekerja di perusahaan Palm Oil, pada satu waktu perusahaan mendatangkan kecambah kelapa sawit beberapa kargo , saking istimewanya kecambah tersebut di datangkan dari Negara Papua Nugini (PNG), melalui kargo udara menuju pedalaman Kalimantan selatan. Saya bertanya kepada pengawas tanaman “Pak, kok kecambah sawit saja harus ekspor dari Papua Nugini?”. Jawab si Pengawas “Ini kecambah terbaik di dunia pak, semua perusahaan sawit pasti pesannya ke PNG”. Saya bertanya kembali “ Apa keunggulannya?” Pengawas tersebut menjelaskan “ Sudah ada proses rekayasa, sudah tidak perlu lagi perkawinan silang antara bibit jantan dan betina, dalam satu tanaman menghasilkan buah sekian ton/ tahun, tahan penyakit…”, dan banyak lagi keunggulan yang dijelaskan. Terakhir saya tanya “ Jika diantara sekian ribu kecambah ada yang cacat/ kurang baik, diapakan?”, jawab si pengawas “Akan kami pisahkan, diberikan perlakuan khusus, seperti penyinaran, pemberian pupuk, dll. Supaya bisa akselerasi menjadi bibit yang normal”. Beberpa kali saya mengamati perilaku dan kinerja pegawai Negara khusunya di daerah, saya tidak habis pikir menyaksikan kapasitas dan integritas mereka, dalam satu dinas hanya pegwai yang itu-itu saja yang sibuk bekerja yang memahami segala bentuk pekerjaan, selalu diminta tolong oleh atasannya hampir untuk semua jenis pekerjaan, sementara disekelilingnya banyak pegawai yang sama sekali tidak menjalankan perannya, padahal sudah memiliki jabatan, mungkin karena tidak memiliki kapasitas, mungkin juga karena malas, sehingga rutinitasnya di kantor, datang kesiangan, menyeduh kopi/ merokok, baca Koran, dan siang hari sudah menghilang. Diluar itu banyak permasalahan integritas lainnya, mulai dari sikap koruptif, manipulatif, kerja yang tidak tuntas, berselingkuh, dan lain-lain. Menjawab fenomena diatas bisa kita analogikan sebagaimana bibit tanaman. Proses seleksi PNS di daerah konon kabarnya hanya 20% yang murni, dan sebagian besar hasil titipan, hasil pungutan, anak pejabat, dll yang tentunya ibarat tanaman merupakan bibit yang kurang baik, bahkan sudah rusak dari awal. Proses seleksi yang tidak baik pada akhirnya melahirkan bibit-bibit pegawai yang memiliki banyak kekurangan, performanya dibawah standar, kriteria yang tidak sesuai dipaksakan untuk bisa masuk, dll. Maka jangan heran jika pada akhirnya ketika sudah menjadi pegawai tidak bisa bekerja apa-apa, tidak menguasai pekerjaan, berpenrangai buruk, ketika ditegur selalu membawa nama keluarga sebagai pejabat, berperilaku koruptif, karena masuk dengan menyuap sekian puluh atau ratusan juta. Tanaman yang rusak-pun perlu perlakukan khusus agar tumbuh normal, pegawai yang performanya dibawah akan menjadi masalah besar jika memang tidak bertaubat, menyesali perbuatannya menzalimi mereka yang berhak pada kedudukan tersebut. Jika memang proses awal yang keliru sudah terjadi, ibarat tanaman perlu adanya perlakukan khusus, diadakan pembinaan maksimal khususnya dalam mental agar, bibit-bibit integritas buruk bisa diatasi segera. Apa jadinya nasib sebuah bangsa jika proses rekrutmen atau penjaringan bibit pgawainya tidak benar, maka akan menjadi efek domino daerah gagal, pegawainya korup, makan gaji buta, yang berakumulasi menjadikan sebuah Negara gagal. Seharusnya model tes pegawai Negara sama dengan model seleksi masuk perguruan tinggi negeri, siapa yang memiliki kualitas terbaik, maka dia yang berhak masuk, tidak ada siapapun yang bsia mengintervensi. Apa jadinya model recrutmen PNS terjadi pada olah raga. Akan hancur prestasi olah raga suatu Negara jika atlit-atlit yang ada merupakan hasil titipan, hasil kolusi, hasil seleksi yang direkayasa. Terbukti, kemenangan seorang atlit karena doping, rekayasa umur, dll. Hanya akan menjadi kemenangan yang sesaat. Atlit yang baik berasal dari bibit yang baik, dan tentunya dioptimalkan oleh pembinaan yang baik. Bibit atlit yang baik tidak akan menjadi atlit yang berprestasi jika tidak ada perlakukan khusus: latihan intensif, pemberian suplemen, makanan bergizi, uji coba, dan stimulan bonus sebagai bentuk penghargaan. Negara ini akan rusak ketika proses-proses instan terus dilakukan, wakil rakyat di parlemen sebagian besar terpilih karena proses pencitraan dan modal yang besar, bukan karena kapasitas dan integritas, maka jangan heran jika perilakunya jauh dari empati, bergaya perlente dan mewah-mewahan, produk hokum yang dilahirkan jauh dari berkualitas. Ulama-ulama yang saat ini muncul di layar kaca, besar karena gossip dan pencitraan, tentunya kharisma yang terbetuk bukan karena proses alami, perilakunya jauh dari tauladan, maka dalam waktu singkat akan jatuh dan ternista karena sikapnya, yang tentunya mencederai nilai-nilai agama itu sendiri. Jika kita terus menerus berbohong, pura-pura tidak tahu, masa bodoh dan membiarkan semua proses penuh manipulatif, maka tanpa sadar kita sedang membuat Negara ini gagal. Sudah saatnya menghentikan masa lupa diri, egosime tiap-tiap warga Negara, tanpa sadar sudah melumpuhkan sendi Negara itu sendiri.***
KEMBALI KE ARTIKEL