Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Perjalanan #5

16 Februari 2015   09:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:07 5 0
Menjelang sore, suasana Terminal Bungurasih masih saja terasa menyengat, hilir mudik manusia dan kegaduhan suara dari berbagai macam jenis aktifitas, mulai dari teriakan para calo, pedagang asongan, hingga pengamen yang mahir memainkan harmonika, menjadikan suasana terminal semakin berwarna.

Aku bergegas menuju bus dengan tujuang Yogyakarta dan mengabaikan beberapa panggilan dari para calo. Aku langsung mengambil tempat duduk di kursi yang berderet dua di bagian depan yang kebetulan masih kosong. Aku berharap tidak ada yang mengisi satu kursi kosong di sampingku, karena kotak dan ransel yang ku bawa telah cukup menyesaki tempatku duduk.

Suasana bus tanpa AC menjadikan suasana tambah panas, beberapa pedagang asongan menaiki bus dan menawarkan air minum dingin.

"Ada yang enggak dingin mas?" tanyaku. Aku memang berusaha untuk menghindari air dingin, yang menurutku kurang baik untuk kesehatan, walaupun dengan cuaca yang panas, air dingin tentu lebih menggoda kerongkongan.

"Enggak ada mas," Jawab pedagang tersebut singkat.

Tiga orang pengamen naik, pedagang asongan segera bergeser tempat ke belakang. Pengamen itu segera memainkan alat musiknya, seorang memetik gitar, seorang memainkan harmonika dan seorang lagi menabuh gendang kecil, mereka bernyanyi bersama. Berbeda dengan pengamen-pengamen yang pernah ku lihat, kelompok pengamen ini cukup kreatif dengan syair lagu yang cukup menarik.

Aku mencatat beberapa bait lyriknya...

Lihatlah negeri kita//Yang subur dan kaya raya//Sawah ladang terhampar luas//Samudera biru//Tapi lihatlah negeri kita//Yang tinggal hanyalah cerita//Cerita dan cerita, terus cerita…

Pengangguran merebak luas//Kemiskinan merajalela//Pedagang kaki lima tergusur teraniaya//Bocah-bocah kecil merintih//Menghabiskan waktu di jalanan//Buruh kerap dihadapi penderitaan//Inilah negeri kita//Alamnya kelam tiada berbintang//Dari derita dan derita menderita…

Sampai kapankah derita ini//Yang kaya darah dan air mata//Yang senantiasa mewarnai bumi pertiwi

Dinodai//Dikangkangi//Dikuasai//Dijajah para penguasa rakus

Ku beri selembar uang ribuan, sisa membeli air minum. Mereka segera berlalu. Seorang perempuan tua naik, dan mengambil tempat duduk persis di sampingku. Bau balsem dan minyak angin tiba-tiba menyergap. menerobos masuk lewat lubang hidung dan mengacak-ngacak rongga perutku. Aku memperhatikan perempuan tua itu, tak tega untuk menegurnya, maka biarkan dia terus mengoleskan minyak angin itu di lehernya.

"Sendirian nek?" Sapaku

"Iya nak..., maaf ya jika bau minyak angin nenek mengganggumu. Tapi nenek pasti tak kuat, jika tak menggunakan ini." Kata-kata nenek itu seakan menghakimiku.

Aku merasa bersalah dengan sikapku yang sinis, nenek yang telah tua ini harus berjuang dalam perjalanan sendirian, seharusnya aku yang masih muda bisa membantu dan meringankan bebannya selama di perjalanan.

Bus mulai bergerak perlahan, meninggalkan Terminal Bungurasih. Aku lihat peempuan tua di sampingku menutup wajahnya dengan sebuah kain. Sebenarnya aku ingin bertanya banyak hal tentang kenapa ia harus pergi menempuh perjalanan sendiri dengan bus ekonomi, kemana anak dan saudaranya? Tapi, aku tak tega melihatnya, mungkin saja dia lelah.

Sebentar lagi malam tiba, aku membuka dan membaca buku yang memang telah ku siapkan untuk menemaniku selama perjalanan, aku membaca beberapa halaman namun sama sekali tak bersemangat, aku memilih untuk tidur. Aku telungkupkan buku itu ke wajahku.

***

Aku terbangun setelah tengah malam, aku kaget perempuan tua yang duduk di sampingku telah berganti dengan seorang laki-laki bertato, kursi-kursi yang awalnya masih ada yang kosong, kini telah terisi penuh, bahkan ada beberapa penumpang yang duduk menggunakan kursi tambahan.

Pemuda di sampingku kelihatan angker dengan tato di lengannya, ia hanya menggunakan baju kaos tanpa lengan. Aku merasa sangat tidak nyaman ia duduk di sampingku. Aku mengecek semua barang bawaanku, semuanya utuh. Aku merapatkan kedua kakiku, dan aku juga masih merasakan uang dan badik yang ku selipkan di kaos kaki juga masih ada.

Aku memberanikan diri untuk menengok ke arah lelaki yang duduk di sebelahku, dia tersenyum sambil mengangguk sopan seraya mengulurkan tangannya.

"Boni!" Ia menyebutkan namanya, ku taksir usianya tak jauh berbeda denganku, yah sekitar 18 tahun.

"Aku Galih kak," jawabku setengah ragu mengulurkan tangan.

"Kenapa? Kamu takut melihat penampilanku? Tak selalu orang yang berpenampilan sepertiku adalah orang jahat. Kebetulan saja, aku bernasib tak sebaik kamu. Aku harus hidup di jalanan." Ia menebak sikapku sambil berusaha meyakinkanku bahwa ia adalah orang baik-baik.

Dari caranya berbicara, aku merasakan ia sangat santun tidak seperti anak jalanan yang ku dengar, kasar dan jarang menggunakan kata kamu-aku dalam berkomunikasi.

"Panggil saja aku Boni, usiaku pasti tak jauh beda. Oh ya, kamu turun dimana?"

"Aku turun di Terminal Giwangan Yogyakarta." Jawabku

Sebentar saja, kamu sudah sangat akrab, aku tidak lagi merasakan takut, dia banyak berbagi cerita aktifitasnya yang ia sebut sebagai aktifitas anak jalanan. Dari ceritanya aku menjadi tahu, bahwa ia sesekali mencopet untuk mempertahankan hidup, tapi sekali lagi ia meyakinkanku bahwa ia tidak mungkin mencopet barang-barang yang ku bawa, menurutnya tak ada yang menarik pasti dari bawaanku selain uang, dan ia akan merasa sangat bersalah jika mengambil uang yang ku bawa, karena ia sangat menghargai setiap orang yang merantau untuk menuntut ilmu.

Aku percaya dengan setiap kata-katanya, apalagi ia bercerita tentang profesinya dengan jujur. Boni, lelaki bertato itu, kebetulan juga satu tujuan denganku, ke Yogyakarta. Pengalamannya yang telah bertahun-tahun hidup di jalan, menjadikanku nyaman dan berharap akan banyak membantuku selama perjalanan.

"Aku tidur duluan ya," ujarnya setelah dua jam lebih kami bicara banyak hal.

"Silahkan Boni, aku juga pasti sebentar lagi tertidur." Jawabku.

Suasana hening, para penumpang yang lain telah dari tadi tertidur pulas. Boni, telah pulas begitu cepat.

"Mungkin dia lelah," pikirku.

Aku juga berusaha untuk memejamkan mata.

***

Sopir menghentikan bus, menyalakan lampu, dan menyebut suatu tempat, beberapa penumpang berdiri dan turun. Aku lihat Boni masih pulas tertidur dan tidak terpengaruh dengan suasana yang sedikit riuh.

Sopir kembali mematikan lampu dan melanjutkan perjalanan.

"Jogja masih jauh pak?" Aku bertanya kepada penumpang yang duduk di bangku teoat di belakangku.

"Sekitar 4 jam lagi, nanti sopirnya pasti ngasi tahu kalo udah sampe. Tapi kalo mau tidur, tidak usah terlalu pulas, banyak orang yang turun-naik, barang-barangnya harus di jaga." Bapak itu mengingatkanku.

"Iya pak, terimakasih." Aku menjawab singkat  sebelum akhirnya tidur.

***

Suasana tiba-tiba menjadi ribut,semua penumpang seperti mau turun, Aku kaget, Boni yang tadinya tertidur pulas di sampingku telah tidak ada. Aku menanyakan kepada Bapak di belakangku ternyata ia telah turun sekitar sejam yang lalu, dan sekarang ternyata bus telah sampai ke Terminal Giwangan Yogyakarta, tujuan terakhir bus ini.

Aku segera bersiap, dan alangkah terkejutnya aku, semua isi tas yang ku bawa telah bertaburan di bawah kursi yang ku duduki. Hampir semua pakaianku hilang, termasuk beberapa buku, hanya tersisa beberapa pakaian dalam. Aku segera meraba uang yang ku selipkan di kaos kaki, masih ada, termasuk badik yang ku bawa juga masih terselip.

Aku tidak tahu persis, siapa yang telah menjarah barang-barang bawaanku. Tapi, aku merasa Boni lah yang paling pantas aku curigai.

Aku sedih dan merasa tertipu, aku duduk mematung sendiri, penumpang telah turun semua. Badanku sangat lemas, aku seolah kehilangan daya untuk berdiri dan turun. Aku membayangkan, berapa banyak uang harus ku sediakan untuk bisa membeli pakaian sesampainya di Lampung nanti.

"Ada apa dik?" Tanya sopir heran melihatku tidak turun.

"Barang-barang yang ku bawa, di ambil orang bang?" Sopir itu kelihatan biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa atau mungkin kejadian itu telah dianggapnya biasa terjadi.

"Selama dalam perjalanan, kita harus selalu berhati-hati dik, jagalah barang bawaan kita dengan baik, dan jangan gampang percaya orang yang baru kita kenal, walaupun dia kelihatannya baik." Ia malah mengkhotbahiku.

Aku dongkol, beringsut aku turun dari bus. Suasana terminal telah tampak terang. Aku menginjak tanah yang dikenal sebagai Kota Pelajar ini bersamaan dengan pagi.

Bersambung ...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun