Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Perempuan, Utopia dan Gairah

21 Februari 2015   09:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:47 45 4
Ketika Adam hidup sendirian di Surga, ia sangat kesepian dan menjalani hidup tanpa gairah. Tuhan mengerti keluh kesah dan keinginannya, sehingga diciptakanlah Hawa sebagai teman perempuannya. Kehadiran Hawa (baca; perempuan), akhirnya menjadi semangat dan energi bagi Adam untuk memulai harapan-harapan baru, hingga melahirkan kreatifitas baru, termasuk kreatifitas melanggar pantangan Tuhan untuk mendekati sebuah pohon yang membuatnya terusir dari Surga.

Terusir dari surga, tidaklah membuat Adam patah semangat. Meski terpisah dengan Hawa paska terusir dari Surga, Adam terus bergerak untuk menemukan semangatnya itu, hingga akhirnya ia bertemu Hawa di sebuah gunung yang hingga kini diberi nama Jabal Rahma. Dari Jabal Rahma inilah, konon berawal kehidupan yang besar ini.

Keturunan Adam pertama, Qabil dan Habil juga menjadikan perempuan menjadi pembakar semangat, perempuanlah yang menjadi musabab mereka mempraktekkan teknik berkelahi yang baik hingga bisa memenangkan pertarungan, yang hingga kini masih banyak diwariskan pada keturunan-keturunan berikutnya, berkelahi dan memenangkan pertempuran karena perempuan.

Perempuan adalah mimpi tentang kehormatan dan harga diri, seorang penakut sekalipun tiba-tiba menjadi sangat pemberani, jika dimaki di depan perempuannya. Perempuan adalah utopia-utopia yang selalu penting untuk menjaga semangat agar terus menerus bisa produktif dalam berkarya.

Meski perempuan bukan satu-satunya utopia yang bisa memantik semangat, karena ada hal lain seperti kekayaan dan kehormatan jabatan juga, tapi semuanya menjadi tidak berarti jika tidak dilengkapi oleh keberhasilan menggandeng seorang perempuan. Laki-laki ganteng akan dicemooh sebagai "memiliki kelainan seksual" jika tidak pernah terlihat memiliki perempuan, begitupun halnya dengan mereka yang memiliki harta berlimpah.

Perempuan, sekali lagi bisa menjadi alat ukur prestise dan harga diri. Bahkan di sebuah daerah, memiliki harta berlimpah tapi hanya memiliki satu perempuan, maka ia belum bisa disebut terhormat dan terpandang.

Perempuan dan mimpi, dua hal yang memang sangat penting. Paulo Coelho dalam Novel The Alkemist menggambarkan bagaimana bersemangatnya seorang anak laki-laki penggembala domba untuk cepat kembali datang ke Toko Saudagar pembeli wol-wol dari dombanya, bukan hanya karena ia ingin menjual wol, tetapi lantaran di toko tersebut, dia sedang membayangkan anak perempuan saudagar itu sedang menunggunya untuk berbincang tentang banyak hal, termasuk meminjamkannya beberapa buku yang bisa menjadikan alasan untuknya tetap kembali.

Pada bagian lain, Paulo Coelho juga menarasikan dengan baik, bagaimana pentingnya impian. Ia melukiskan impian seorang pedagang batu kristal, yang menjadikan impian sebagai alasan untuk bertahan hidup. Impian untuk pergi ke Mekkah,  impian itulah yang membantunya menjalani hari-hari yang sulit. Namun di sisi lain, ia justeru tidak ingin kalau impiannya menjadi kenyataan, karena ia khawatir tidak lagi memiliki alasan untuk hidup.

Impian memiliki perempuan seutuhnya adalah gairah-gairah yang selalu harus dipelihara, tapi bukan untuk diwujudkan, karena perempuan-perempuan itulah pemilik sah atas hidupnya sendiri. Memaksakan untuk memiliki perempuan, dalam pengertian menjamah perempuan sebagai milik pribadi yang diperlakukan secara suka-suka, akhirnya membuat banyak orang kehilangan alasan untuk bertahan.

Lihatlah laki-laki, yang merenggut kehormatan perempuannya, kemudian dengan ringan berjalan pergi, karena tak lagi memiliki alasan untuk bertahan, dia telah kehilangan mimpi tentang indahnya malam pertama.

Perempuan yang menjadi mimpi, menjadi utopia-utopia, yang memiliki sikap tegas atas kepemilikan tubuhnya, memiliki harga diri akan menjadi gairah yang tak pernah habis. Pun sebaliknya, perempuan yang menundukkan dirinya atas dominasi laki-laki, membiarkan harga diri dan kehormatannya dirampas, akan terhempas kemudian dilupakan, karena dia bukan lagi mimpi ideal, bukan lagi utopia.

Pertanyaannya, pada zaman yang terus berubah begitu cepat, adakah perempuan yang menjadi mimpi ideal itu, ataukah ia benar-benar telah utopis? Tak usah menjawab pertanyaan ini, biarlah ia jadi misteri. Bukankah utopia-utopia itu tidak selalu harus diwujudkan, sebagai alasan untuk terus bertahan dan bergairah?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun