Sampai di penghujung malam hari ini, aku masih tak ingin meletakkan penaku untuk terus menuliskan betapa besar perjuangan seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan keempat putranya. Pada usia pernikahannya yang baru akan menginjak tahun ke-14, ia kehilangan suaminya yang wafat akibat serangan jantung. Saat itu putra pertamanya masih duduk di kelas tiga Madrasah Tsanawiyah di salah satu pondok pesantren modern, dan putra bungsunya baru berusia dua tahun.
Bukan hal yang mudah bagi seorang ibu rumah tangga biasa untuk membesarkan empat orang putra, apatah lagi sampai harus membiayai pendidikan mereka. Segala usaha ia lakukan, mulai dari berdagang sembako dengan modal yang sangat kecil bahkan tidak jarang ia memutuskan untuk mencari pinjaman uang ke beberapa pihak. Semua itu ia lakukan demi putra-putra yang sangat dicintinya.
Di tahun ke-2 sejak ditinggal suami tercintanya, ia sempat mempercayai salah satu keluarganya di luar kota untuk mengasuh dan membiayi pendidikan salah satu putranya, namun itu hanya bertahan dua tahun. Setelah itu ia lebih memilih untuk berjuang sendiri dalam membesarkan putra-putranya karena menurutnya itulah yang terbaik.
Sampailah pada suatu saat ia harus membiayai putra pertamanya menjalani proses pendidikan di perguruan tinggi, dan disusul oleh putra ke-duanya di tahun berikutnya. Hal ini tentu membuat hidupnya semakin tidak mudah.Ia harus memikirkan biaya sewa kost, uang makan, dan biaya kuliah dua putranya itu setiap bulan. Belum lagi dua putranya yang masih duduk di bangku sekolah.