Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Mengenang Masa Keemasan Islam di Mezquita Cordoba

24 Oktober 2013   18:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:05 552 2

Oh, holy place of Cordoba!

From passion, your presence

Passion wholly eternal

In which there’s no going and coming

Sacred for lovers of art, you are the glory of faith,

You have made Andalusia pure as a holy land!*

Kedua mata saya mengembun tak lama setelah memasuki La Catedral De Cordoba alias Mezquita Cordoba alias Masjid Cordoba. Beragam rasa mengaduk. Rasa syukur karena bisa menjejak tempat yang sejak saya kecil telah begitu lekat di pikiran dengan segala keagungan dan rangkaian kisah yang ada di baliknya. Takjub dengan ratusan pilar-pilar yang masih berdiri kokoh, khas dengan garis-garis merah di tiap lengkungannya. Dan, ini yang mungkin yang paling membuat batin saya tercekat hingga kemudian meneteskan air mata, rasa sedih bahwa saya tak bisa shalat di “masjid” ini. Bahwa setelah 450 tahun berdiri, masjid ini kini adalah sebuah katedral….

Menuju Cordoba

Untuk menghemat waktu, saya menggunakan kereta Renfe Altaria dari kota Madrid ke Cordoba. Tiket seharga 57 euro saya beli sehari sebelumnya di stasiun Madrid Atocha. Jarak Madrid-Cordoba sejauh 400 km ditempuh hanya dalam waktu 2 jam.

Sampai di stasiun Cordoba Central jam 10 pagi saya langsung mencari pusat informasi turis. Setelah membeli peta seharga 1 euro dan mendapat penjelasan cara menuju ke Mezquita, saya menitipkan koper di luggage left. Seorang pria baya tinggi besar dengan ramah menyambut kami dan berkata, “From Indonesia?”. Ah, jarang sekali dalam perjalanan Eropa ada yang menebak dengan tepat bahwa saya berasal dari Indonesia. Seringnya ditebak sebagai orang Malaysia. Pria itu kemudian bercerita kalau dia punya teman baik dari Indonesia bernama Indira. Setelah membayar biaya titip tas, si Bapak memberi cokelat, dan saya pun bergegas menuju halte bus yang akan membawa ke Old City. Tujuan utama adalah The Mezquita of Cordoba, Masjid Agung Cordoba.

Mendung yang sempat membuat khawatir saat tiba di stasiun kereta, menyingkir saat saya sampai di Old City. Panas menyengat. Langit begitu biru dan bersih. Sepuluh menit berjalan dari halte bus, saya sampai di perbatasan antara gerbang dan Jembatan Romawi yang melintasi sungai Guadalquivir. Menara Mezquita, yang sekarang menjadi bell tower, terlihat di kejauhan.

Alunan biola menyambut saya. Seorang gadis cantik berdiri tepat di sisi kanan gerbang, memainkan lagu riang dari biolanya. Sejenak saya menikmati gesekan biola si gadis. Banyak turis yang menikmati gesekan biola sang gadis, memasukkan euro ke kotak biola yang terbuka di hadapan si gadis. Tak jauh dari gerbang yang desainnya begitu Romawi tersebut, sebuah toko suvenir tampak ramai oleh turis. Wah, belum apa-apa saya sudah tertarik melihat-lihat. Tapi kemudian saya sadar kalau waktu saya cukup terbatas di Cordoba. Jam 4 sore saya harus berada di terminal bus, untuk menuju Granada.

The Mezquita

1226 tahun lalu Mezquita Cordoba dibangun sebagai sebuah masjid, tepatnya pada tahun 786 Masehi, atau 75 tahun setelah pasukan Islam pertama kali menguasai Spanyol. Khalifah Bani Umayyah, Abdurrahman III, yang memulai pembangunan masjid yang ditopang 1293 pilar-pilar kayu berukir. 19 pintu berlapiskan perunggu juga dihiasi ukiran yang menakjubkan. Hiasan dindingnya diwarnai unsur flora dan inskripsi dari Al-Qur’an dalam bentuk ukiran kapur, kaca, marmer, dan mozaik emas. Panjang Mezquita Cordoba saat ini mencapai 175 meter dengan lebar 134 meter, dan tinggi 20 meter. Sebelum Christian Reconquista atau Penaklukan Kembali Spanyol pada tahun 1236, Masjid Cordoba mengalami 7 kali perluasan di bawah kekuasaan Islam.

Pada masanya, keagungan dan kehebatan Masjid ini mencerminkan kemakmuran dan kesejahteraan Andalusia. Cordoba yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Bani Umayyah menjadi pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan. Masjid bukan sekadar tempat ibadah, tapi pusat segala aktivitas. Khalifah menggratiskan anak-anak fakir miskin untuk belajar di sekolah yang ada di Masjid. Ada 170 wanita yang berprofesi sebagai penulis Al-Qur’an. Kesemarakan Masjid ditandai dengan 4700 buah lampu yang menerangi Masjid saat malam hari, dan membutuhkan 11 ton minyak per tahun. Perpustakaan Masjid Cordoba menjadi ladang bagi orang-orang yang haus ilmu pengetahuan. Setiap tahun perpustakaan dikunjungi lebih dari 400.000 orang. Tak hanya Muslim, tapi kaum non Muslim pun turut mereguk ilmu dari perpustakaan. Salah satunya adalah Paus Sylvester II, pemimpin kaum Katholik. Ada begitu banyak ulama dan ilmuwan besar yang “lahir” dari Masjid Cordoba, di antaranya Ibnu Rusyd (ahli fikih, filsuf, dan dokter), Ibnu Hazm (sastrawan, ahli fikih, juga pakar studi perbandingan agama), Al-Qurthubi (ahli tafsir), Ibnu Bajjah (ahli matematika), Ibnu Thufayl (dokter dan filsuf), Al-Zahrawi (ahli bedah), hingga Al-Idrisi, seorang kartografer dan geographer.

Setelah Penaklukan Kembali, Masjid Cordoba langsung diubah menjadi gereja. Tak hanya mengubah semua masjid menjadi gereja, kekuasaan Kristen di bawah kepemimpinan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella juga mengubah semua sendi-sendi kehidupan yang berbau Islam. Kaum Muslim diharuskan menjadi penganut Kristen. Tak terhitung Muslim yang tewas dibunuh karena mempertahankan keyakinannya. Tak boleh ada simbol-simbol Islam. Kaum Muslim yang selamat dan tak memeluk Kristen, menyembunyikan diri dan identitasnya sebagai Muslim. Tragis. Kekuasaan yang dibangun selama 500 tahun lebih pun runtuh.

Pohon Jeruk

Deretan pohon jeruk, dengan buahnya yang masih hijau bergelantungan, langsung menyambut pengunjung saat memasuki pintu utama The Mezquita. Patio de los Naranjos, atau Kebun Jeruk, terbuka untuk umum dan setiap hari menjadi taman publik. Sebelum antre membeli tiket seharga 8 euro untuk masuk ke Mezquita Cordoba, saya dan teman sengaja duduk di bawah pohon jeruk, menikmati semilir angin sambil mengamati menara masjid. Dari informasi yang saya baca, teryata deretan pohon jeruk ditanam simetris dengan deretan pilar-pilar yang ada di dalam Masjid Cordoba. Wow. Bangsa Moor sangat menyukai jeruk dan menanamnya di banyak tempat. Salah satunya saya lihat dua hari kemudian di halaman Katedral di Granada. Pohon-pohon jeruk berderet, tapi buahnya sudah menguning.

Pencahayaan remang-remang membuat mata saya sedikit menyipit saat memasuki Mezquita, karena sejak tadi terpapar sinar terang matahari. Pencahayaan itu ternyata disengaja untuk menimbulkan efek dramatis, sebelum kita mendapati cahaya cukup terang di sisi tengah Mezquita, dan kemudian meredup kembali di bagian selanjutnya. Saya sempat melihat petugas yang sedang memperbaiki pencahayaan Mezquita. Ternyata bukan lampu, tapi semacam petromaks atau lentera. Tak heran cahayanya remang. Lebih tepat lagi sendu, menurut saya.

Deretan pilar dengan sisi atas melengkung seperti tapal kuda dan garis warna merah begitu mirip dengan pilar-pilar yang ada di Masjid Nabawi, Madinah. Alhamdulillah, kekhasan ini tidak diubah oleh penguasa Spanyol saat mengubah masjid ini menjadi katedral.

Di beberapa sisi yang merapat ke dinding, beberapa ruangan kecil sengaja disekat dan menjadi kapel-kapel untuk berdoa. Patung-patung dan desain yang berbeda tampak di ruangan tersebut. Semakin ke dalam dan sampailah kami di bagian tengah, yang kini menjadi tempat utama untuk misa. Ada dua sisi di area ini. Sisi kanan adalah ruang dengan bangku-bangku tinggi berukir dan sisi kiri adalah ruang agak terbuka yang menjadi pusat tempat misa. Patung-patung dan lukisan di bagian depan dengan podium agak tinggi, tempat pendeta melakukan pidato. Di beberapa sisi saya melihat ukiran-ukiran dan bagian yang sengaja ditambahkan saat masjid diakuisisi menjadi gereja. Ada sebuah lukisan yang lagi-lagi membuat mata saya mengembun, yakni lukisan yang menggambarkan takluknya penguasa terakhir Kekhalifahan Islam di Spanyol. Beberapa sosok bersorban, sepertinya sultan saat itu, dilukiskan merunduk, menyerahkan kunci kepada Raja yang berdiri angkuh.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun