Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Nestapa Menuju Pulang

1 Agustus 2024   16:58 Diperbarui: 1 Agustus 2024   17:02 63 1
“Pengkhianat, kamu tidak tahu bagaimana Londho sudah membuat keluarga bapak dan ibuk meninggal mengenaskan.  Mau-maunya kamu diperbudak oleh mereka. Ora isin kowe dilokne bangsa monyet karo Londho?” (tidak malu kamu dikatai bangsa monyet oleh Belanda?)

Ibuk masih ingat bagaimana Bapak mengumpatimu dan memukulimu dengan keras di gelapnya malam itu. Dalam keadaan dikuasai amarah, dirimu pergi meninggalkan gubuk tua ini. 'Pengkhianat' bukan kata yang tepat untuk menggambarkan dirimu. Ibuk tahu, kau selalu menanamkan sukmamu itu untuk mendukung rakyat-rakyat pribumi yang tertindas. Sudah 350 tahun Belanda menguasai tanah Hindia Belanda ini, ibuk bisa membayangkan bagaimana wajah cerahmu begitu menyadari tanah yang membesarkanmu ini telah Merdeka.

Kau harus tahu, bapak kecewa sekali. Bapak yang kala itu  berusia sepuluh tahun dan hanya tahu bermain direnggut seluruh kebahagian dan tawanya oleh Belanda. Bangsa yang selalu memakai jas terhormatnya itu selalu semena-mena terhadap pribumi miskin seperti kita, mereka mencaci maki, menendang atau bahkan bisa jadi membunuh seolah kita hanyalah seogok sampah tak berguna. Manusia seperti kita tak ada harganya di mata mereka dan kau tahu hal itu. Namun, dirimu memilih mengabdikan hidupmu kepada orang kulit putih yang selalu semena-mena terhadap kaum pribumi hanya karena uang.

“Hei monyet kemarilah.”

“Hei jongos, sini kamu!”

“Pribumi bodoh! Begitu saja tidak bisa!”

Entah bagaimana mereka mengumpatimu : dengan cara pertama, kedua atau yang ketiga. Memikirkannya saja ibuk nelangsa dibuatnya. Entah apa yang kamu dapat dari bangsa itu. Apakah banyak gulden yang kamu dapat dan hidupmu semakin enak karenanya? Atau benar kata orang-orang bahwa dirimu itu jatuh hati kepada bangsa indo yang lahir dari seorang nyai tanpa ikatan pernikahan? Apa surai pirangnya membuatmu jatuh hati? Atau karena matanya yang biru bening itu membuat asmaramu merekah?

Tepat sebulan setelah kamu pergi meninggalkan rumah, ibuk melihatmu diumpati oleh para kompeni begitu menurut mereka kerjamu tidak becus, bahkan ketika dirimu menggaruk punggungmu pun dirimu salah dimata kaum netra biru itu. Mereka mengumpatimu seraya menendangmu di depan banyaknya pribumi dan orang Eropa lain yang hanya tertawa seolah itu merupakan tontonan menarik bagi mereka. Bangsa yang sering mengolok-olok pribumi dengan kata ‘monyet’ itu lebih mirip binatang dibanding manusia hina sekalipun. Bagi mereka (kaum indo dan Eropa) dirimu hanya seogok sampah yang tak bernilai harganya, padahal diriku melihatmu seperti berlian yang selalu kubanggakan dan kujunjung tinggi-tinggi karena tingkahmu yang bijaksana dan berani.

Itu terakhir kali ibuk melihat parasmu. Jujur saja, kala itu wajah bijaksanamu telah hilang digantikan nelangsamu. Bulan yang dahulu selalu merekah cahayanya sekarang telah redup. Perumpamaan itu mirip sekali dengan dirimu sekarang. Bagaimana mungkin anakku yang bahkan takut kusentuh saat bayi karena jari-jarimu yang rapuh dan kecil itu sekarang dipukuli seperti ini.    

Setelahnya, kabar tentang dirimu hilang, bersamaan dengan raga yang ditelan bumi. Sore hingga petang, ibuk menunggu raga itu kembali dengan bentang senyum yang menghiasi bibirmu. Yu Asih bilang dirimu ditangkap gerombolan saat sedang melarikan diri. Kenapa kamu tidak lari sekuat tenaga saat itu? Kenapa kamu tidak menggunakan seluruh tenagamu yang selama ini kau pakai untuk mengabdi kepada Belanda untuk menyelamatkan hidupmu?

Apa yang mereka lakukan pada anakku yang berharga, anakku yang kujaga selama sembilan bulan di dalam rahim dan kudekap dengan kasih sayang begitu ia berumur tiga tahun. Apa mereka berusaha mengulik informasi darimu karena kau bekerja pada Belanda? Atau mereka langsung mengeksekusimu bersama para Kaum belanda dan keturunan lainnya karena mereka berfikir kamu adalah penghianat negara? Apa mereka menyakitimu, Anakku?

Pada fajar hari ini bentala menggores rona kemerahan di atas sana. Baskara tertunduk malu, bersiap menyingsing ke barat. Sekarang, di depan gubuk tua ini aku duduk di amben bambu reyot, menatap eloknya fajar yang tak lama lagi akan terselimuti gelita. Sambil menyisir surai gelapmu dan mengelusnya lembut. Saat ini kau menguntai senyuman yang tak kalah indahnya dengan senja kemerahan di sana. Untaian itu mampu menenangkan seluru gundah dan gelisah yang menggemuruh di dalam dada selama puluhan tahun. Wajahmu yang kutangkup sekarang tak menua barang se-inchi. Namun, saat kuangkat tanganku dari helaian-helaian sehitam pualam yang kurindukan itu, bayanganmu mengabur, senyummu yang indah memudar, kepalamu yang bersender lelah di pahaku berkeping-keping membentuk kenangan yang selalu teringat di kalbu. Fajar menyingsing bersamaan denganmu. Baiklah, Nak, hati-hati di jalan. Mungkin esok atau lusa ibuk akan segera menyusulmu dan bapak di sana.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun