Â
Melalui Project Nimbus, Google dan Amazon akan menyediakan layanan cloud termasuk kecerdasan buatan (AI) kepada pemerintah Israel untuk mendukung pengembangan peralatan militer. Nilai proyek tersebut sebesar 1,2 miliar dollar AS (sekitar Rp 19,4 triliun)
Â
Para karyawan yang melakukan protes menyatakan bahwa mereka menentang genosida. Cheyne Anderson, salah satu insinyur Google Cloud dan karyawan yang menentang Project Nimbus, percaya bahwa sebagai perusahaan global, Google  tidak boleh mengadakan kontrak militer dengan pihak mana pun
Â
Anderson dan beberapa rekannya bahkan menduduki kantor CEO Google Cloud Thomas Kurian sebagai  protes. Mereka kemudian ditangkap karena dianggap melanggar izin yang ada
Â
Menurut Google, beberapa karyawan  telah mengganggu pekerjaan karyawan lain dengan melakukan  protes di  kantor
Â
"Menghalangi pekerjaan karyawan lain secara fisik dan mencegah mereka mengakses fasilitas kami jelas merupakan pelanggaran kebijakan kami dan merupakan perilaku yang tidak dapat diterima sama sekali," kata Google dalam sebuah pernyataan kemarin Sabtu, (20/4/2024).
Â
Sebelum dipecat, Rackow mengumumkan pihaknya telah melakukan penyelidikan terhadap puluhan karyawan yang melakukan protes
Â
Raksasa teknologi itu juga mengatakan akan terus menyelidiki dan mengambil tindakan yang diperlukan
Â
Karyawan yang terkena PHK selanjutnya menyampaikan masukan melalui platform Medium
Â
Sebagai bagian dari kampanye "no Tech for Apartheid", mereka menyebut keputusan Google sebagai "tindakan balas dendam". Mereka juga menyayangkan sejumlah pegawai yang tidak ikut aksi terkena dampak PHK tersebut
Â
Terkait aksi protes, mereka menegaskan haknya untuk melakukan aksi tersebut, khususnya protes terhadap proyek Nimbus
Â
Namun Google mengatakan Proyek Nimbus "tidak ditujukan sebagai beban kerja yang sangat sensitif, rahasia atau militer yang relevan dengan senjata atau badan intelijen".