Satu lagi gebrakan baru yang muncul di Sulsel, lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Air Susu Ibu (ASI). Bagi kaum ibu, mungkin perhatian pemerintah provinsi Sulawesi Selatan ini sungguh sangat istimewah, apalagi bagi sang bayi yang baru menghirup udara panas dunia sudah digembleng dengan sedotan perda ASI yang di beking-ngi Konvensi Hak Anak terutama pada Pasal 24.
Tetapi belum juga perda ini di tetapkan, salah kaprah atau bahkan melarikan salah tujuan akhir perda ini sudah terlebih dahulu terjadi. Banyak pihak melihat, atau bahkan menuding perda inisiatif dewan perwakilan Rakyat Sulawesi Selatan yang diusulkan oleh Komisi Pemantau Legislatif (Kopel) Sulsel ini untuk mendiskriminasikan sang ibu.
Bukan tidak mungkin memang, jika sosialisasi perda yang sudah mengangkat hak asasi bayi ini akan berdampak pada takutnya seorang ibu untuk tidak menyusui anak-nya ketika lahir, jika dilakukan secara salah dan menyalah pahamkan masyarakat. Bayangan perda yang masih awam di masyarakat menjadi pemicunya. Bagi sebagian orang kata perda, ibarat bayangan aturan yang dibelakang semuanya ada pihak yang nantinya di persalahkan.
Tentu saja, pengertian tersebut juga akan berlaku pada perda ASI di Sulsel ini. Namun, ketakutan jika nantinya sang ibu tidak menyusui anaknya akan dipenjarakan atau diberi sangsi tertentu, sangat salah. Jika hal itu terjadi, sama saja, hak ibu untuk menyusui anak-nya telah menjadi hak negara, padahal ASI itu bukan hak negara dan tidak mungkin di negarakan, tapi ASI adalah hak bayi. Walau bukan itu yang nampaknya ingin diterapkan pemprov Sulsel.
Memang dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 sudah sangat jelas mengatur hak anak untuk memperoleh ASI ekslusif, bahkan pasal 128 ayat 1 dengan tegas mengatakan ASI ekslusif tersebut di dapatkan sang bayi selama enam bulan berturut-turut, tanpa tentu saja tidak lepas dari kata ‘kecuali’ yang menutup khusus yang memiliki indikasi medis.
Nama Perda ASI yang dipatenkan pemprov Sulsel tersebut, hanyalah khiasan akan satu aturan yang mengatur regulasi pemberian ASI kepada bayi. Inti dari perda ASI ini, mengarah kepada instansi terkait yang malah tidak mengsosialisasikan pentingnya pemberian ASI kepada bayi. Atau malah dalam instansi tersebut mempergunakan penyulusan menyusui dengan sosialisasi susu formula yang memang dilatar belakangi dengan kontrak kerja sama.
Kecemburuan bagi hasil antar instansi, atau malah ‘persaingan’ perbanyak kontrak dengan produsen susu yang memiliki pangsa pasar jelas, bahkan bisa dikatakan konsumen konsumtif paling progresif di Indonesia tersebut, menjadi pemicu utama lahirnya perda ASI ini. Entahlah!
Namun yang jelas, perda ini bukan untuk men-yangsi sang ibu yang tidak menyusui bayinya dengan ASI ekslusif. Tapi akan men-yangsi Pimpinan Rumah Sakit, Dokter hingga Perawat yang terlibat dalam praktek menjual belikan ASI formula yang di pasarkan di Rumah Sakit atau Rumah Bersalin.
Kerisauan masyarakat terhadap praktek terselubung di Rumah Bersaling bahkan Rumah Sakit Umum yang kadang mempaketkan produk susu dengan biaya bersalin dan perawatan di instansi tersebut, nampaknya baru dilirik pemerintah. Padahal praktek ini sudah terjadi sejak dahulu kala. (kenapa baru di Perdakan!)
Tapi, patut di beri Jempol jika inisiatif perda ASI prakara Sulsel ini sedikit memberi perhatian kepada bayi dan ibu yang sama-sama punya hak khusus dalam situasi ini. Hanya saja, banyak pihak, bahkan penulis men-yanksikan peranan perda ASI ini. ‘Akan kemana dan bagaimana nantinya, belakangan akan kita ketahui’
Bukan tanpa alasan, keragu-raguan akan peranan perda ASI ini. Sudah segubrek perda yang dilahirkan namun kurang sangat tidak memiliki perubahan atau fungsi untuk mengdobrak kebiasaan tidak lazim masyarakat. Bisa jadi pula, manuver ‘asing’ ini hanya akan menjadi pembicaraan sesaat yang kembali lenyap tanpa ada perubahan pasti di masyarakat.
Apalagi dalam perda ASI ini, akan ‘memaksa’ para pemilik tempat perbelanjaan, instansi umum, bahkan rumah ibadah sekalipun untuk membangun ruang menyusui untuk ibu-ibu. Hal yang sama dilanjutkan dalam undang-undang 36 tahun 2009 pasal 128 ayat 3.
Satu lagi, kelemahan mendasar perda ASI ini, terletak dari tidak mampunya memberikan putusan untuk meng-cutter hubungan kerjasama antara pemilik rumah bersalin dengan produsen susu formula. Banyak pihak malah memberikan pekerjaan rumah tersebut kepada pemerintah setempat.
Legislator Sulsel, Andi Mariattang menantang pemprov Sulsel membuktikan keberaniaanya dalam menjalankan perda ASI tersebut. “Kita lihat saja, sejauh mana keberanian stakholder memutuskan hubungan kerja sama tersebut,” tuturnya.
Bagaimana pun, perda ASI ini telah di putuskan, dan masyarakat tinggal menunggu hasil kerja selama sebulan terakhir ini untuk diterapkan dan membuat perubahan. Sangat disyukuri, karena perda ini tidak akan lari ke pemenjaraan sang ibu yang dengan susah payah melahirkan bahkan mempertarukan kehidupannya, tapi hanya segelintir orang yang katanya sangat sadar akan kesehatan dan manfaat ASI malah berdendang ria dengan ‘berdagang’ susu.
Sadar akan manfaat ASI untuk kehidupan, dengan tulisan ini pula, penulis mengajak kepada seluruh ibu di Indonesia untuk mau menyusui anaknya ketika lahir. Dan bagi kaum adam, semoga memberikan suport kepada pasangannya untuk memberikan ASI, bukan sebaliknya atau yang lain!. Akhir kata, Ayo minum Susu. ***