Nah, di sini masalahnya. Ternyata orang kaya itu culas bro. Dia punya power yang bikin dia bisa ngelakuin segala cara termasuk curang (di film ini pura-pura miskin) buat masukin anaknya ke sekolah elit. Hak si miskin dalam mengenyam pendidikan direbut paksa sama orang yang pura-pura miskin demi memenuhi egonya semata.
Jadi teringat korelasi sekolah yang bagus dengan prospek masa depan. Di sekolah elit, terbuka lebar jalan menuju sukses karena lingkungannya amat sangat mendukung. Selain karena fasilitas lengkap, tenaga pengajar juga berkualitas. Makanya saudagar kaya sampe para pejabat juga nyekolahin anaknya di sana. Ga heran kalau lingkungan mereka sangat amat mendukung mereka buat mempercepat kesuksesan, banyak koneksi ordal yang memungkinkan si kaya dapet posisi strategis di perusahaan. Atau kalau bikin usaha marketnya gampang, bisa cuan dengan mudah.
Beda dengan sekolah miskin yang selain fasilitasnya seadanya, tenaga pengajarnya rata-rata udah tua, juga bangunan bobrok yang bisa roboh kapan aja. Lingkungan mereka juga sangat tidak mendukung untuk belajar. Banyak anak miskin yang harus bolos sekolah demi bantu orangtuanya cari uang. Sedikit waktu yang si miskin punya buat belajar. Belum lagi paradigma masyarakat miskin yang berfikir untuk apa sekolah toh nanti juga kerjanya buruh kasar menjadi tantangan besar bagi para murid. Gak aneh kalau mereka lekat dengan lingkaran kemiskinan. Â
Untung aja itu di India, bukan Indonesia. Di Indonesia tentu jauh lebih baik dari India. Di Indonesia guru amat sangat dihormati dan dimuliakan. Gaji guru di Indonesia minimal 2 digit dan banyak benefit dari pemerintah, ga heran banyak yang mau jadi guru soalnya sejahtera.Â