Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Pilihan

Berjuang Menjadi Diri Sendiri dalam Film '12 Menit'

29 Januari 2014   15:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21 1116 0
[caption id="attachment_308995" align="aligncenter" width="620" caption="Screenshot Youtube"][/caption]

Sekedar menilai secara cita rasa pribadi, karena bukan insan perfilman, setelah ‘Nobar’ bareng sahabat-sahabat Kompasiana film ‘12 Menit Kemenangan untuk Selamanya’ Senin 27 Januari 2014 yang lalu. Film yang diputar serentak hari ini (29/1/2014) dan menarik untuk dinikmati. Kekayaan isi yang sarat pesan moral dan nilai perjuangan hidup itu menegaskan akan suatu prinsip pentingnya menjadi diri sendiri.

Cerita film yang diangkat dari kisah nyata grup marching band asal Bontang, Kalimantan Timur dan dinovelkan oleh Oka Aurora berjudul 12 Menit ini sangat sesuai untuk orangtua dan para remaja. Dalam kapasitas sebagai penonton, saya menikmati sesuai cita rasa yang saya miliki. Visusalisasi keindahan musik dan nada gempita marching band cukup memukau. Pemain senior berpadu dengan yunior memainkan emosi dan ekspresi karakter masing-masing tokoh. Meskipun beberapa hal tidak seperti gambaran yang saya pribadi bayangkan saat membaca sinopsis film sebelum menonton secara utuh filmnya.

Genre sebagai film edukasi layak disematkan pada film besutan sutradara Hanny Saputra. Menghadirkan sejumlah aktris papan atas seperti Olga Lidya, Titi Rajo Bintang, Didi Petet, dan pendatang baru Amanda Sutanto pemeran Elaine adalah upaya untuk menguatkan sosok film ini. Pergulatan konflik yang dibangun di dalamnya dibangun secara apik. Sanggup mengundang emosi penonton. Adegan adegan menghadirkan rasa berkecamuk dan bahkan mata menjadi berkaca-kaca. Beragam hal menarik dan menggugah rasa lainnya ditampilkan cukup ‘seksi.’

Film ini mengeksplor tokoh Elaine,Tara, dan Lahang yang mempunyai latar belakang berbeda. Elaine, remaja yang tumbuh dan besar di Jakarta, namun harus pindah ke Bontang (Kaltim) mengikuti sang ayahnya,seorang insinyur kimia asli Jepang. Tara mengalami kecelakaan yang berakibat kehilangan suaranya serta merenggut nyawa sang ayah. Ia harus tinggal dengan Opa dan Omanya, setelah  Ibunya melanjutkan kuliah ke luar negeri. Lahang, seorang anak keturunan Dayak, punya keinginan yang sangat kuat. Ia hidup hanya berdua dengan ayahnya yang sakit keras.  Lahang terjebak dalam dilemma, antara pilihan menggapai impiannya atau merawat sang Ayah. Mereka bertiga bertemu dalam satu tim sebuah grup Marching Band. Sebuah kelompok besar yang memiliki misi yang sama besarnya. Rene, pelatih Marching Band profesional, dipilih untuk membawa Marching Band Bontang ke tingkat nasional. Rene bekerja kerasa membangun tim dari kota kecil itu.

Elaine bocah di bangku SMP ditampilkan tengah mengalami gejolak rasa saat ia berbahagia bergabung bersama marching band, namun di saat yang lain ia lolos menjadi peserta olimpiade fisika. Perasaannya berkecamuk, mengingat Papanya Josuke Higoshi adalah pribadi yang keras dan menuntut bahwa sekolah harus dipriorotaskan daripada kegiatan lainnya. Ya Elain harus memilih. Dan itu dikuasakan penuh putusan ada padanya. Bahkan dari Ibunya yang membantu ‘hanya’ dengan kata-kata “Pilihlah apa yang membuatmu bahagia”. Juga Rene sang pelatihnya yang bernada serupa dengan Ibunya, “Jadi diri kamu sendiri, kamu yang memutuskan.”

Ekspresi Amanda pemeran Elaine yang berkarakter manis sayu, menampakkan kebimbangan. Saya sempat berpikir, itu beban terlalu berat dipecahkan seorang anak usia SMP. Saat Highosi sang ayah bersikeras berkuasa penuh atas jalan pilihan anaknya. Namun kemudian putusan Elaine pun tetap bersama marching bandnya meski kemudian sempat membuat ayahnya marah berat. Marah yang khas digambarkan dalam karakter pribadi budaya Jepang. Tegas dan tetap bernilai hormat. Dialog bermuatan sama disampaikan oleh Rene kepada Higoshi di kantornya saat meminta meminta maaf. Setelah permintaan agar Elaine bergabung kembali ditolak, rene mengatakan “ Saya bahagia bahwa ayah saya mempercayakan saya untuk jadi saya sendiri.”

Sosok Lahang dengan background keturunan Dayak, menarik. Menampilkan remaja yang telah bertanggungjawab kepada ayahnya yang sakit keras. Ayah yang menolak pengobatan medis dari dokter. Di sisi lain Lahang mempunyai keinginan kuat meraih cita-citanya,’ mempunyai sesuatu untuk dibanggakan bagi dirinya sendiri dan ayahnya.” Merinding merasakan ‘ruh’ adegan-adegan, seperti adegan saat Lahang meninggalkan kampong halaman diiringi ‘prosesi’ kecil Dayak oleh ayahnya dengan pesan “Terbanglah Nak.” Atau saat kabar meninggalnya ayahnya hingga Lahang mengurungkan niat untuk kembali ke kampung menjenguk jenasah ayahnya, ketika melihat elang terbang berkitaran. Seakan Lahang melihat sosok ayahnya berpesan melalui elang itu. Lahang ingat ayahnya pernah berkata ingin menjadi elang saat nafasnya terhenti nanti. Nuansa mistis yang digambarkan mudah untuk dicerna dan tidak berlebihan.

Konflik batin Tara, tak kalah beratnya. ‘Mengentaskan’ perasaan bersalah sebagai penyebab kematian ayahnya, dan kekecewaan pada Ibunya yang meninggalkannya kuliah ke luar negeri  tidak mudah ia lakukan. Hingga menyebabkan dirinya kehilangan pegangan ‘dirinya sendiri’ dan sempat memutuskan meninggalkan marching band yang dicintainya.

Namun demikian beberapa hal yang tidak saya dapatkan sesuai cita rasa sebagai penonton. Awalnya saya membayangkan mendapatkan gambaran kehidupan masyarakat kota Bontang, kehidupan anak-anak sekolahnya. Di kota besar remaja usia SMP kehidupan bergelimang dengan kehidupan modern. Tentunya berbeda dengan kota kecil Bontang. Namun tidak digambarkan secara jelas, kecuali sekelumit aktivitas di sekolah, pabrik-pabrik (pupuk kaltim?) selama perjalanan Elaine dari bandara, gedung pemerintahan, juga sekelumit desa nelayan di rumah Lahang saat menampilkan tarian Dayaknya. Visualisasinya tidak cukup memberikan deskripsi tentang profil warga Bontang yang pantang menyerah seperti digambarkan anak-anak dalam marching band itu. Sama halnya gambaran minim yang diberikan Bapak Gunawan dan Sihombing, anggota DPRD II bontang yang mengobrol dengan saya sesaat sebelum masuk Studio XXI Epicentrum Kuningan, Senin 27 januari 2014 kemarin. Menurut saya ‘landscap karakter’ ini perlu mengingat seting dan background film adalah karakter Bontang.

Soal marching band yang menjadi salah satu sarana menampilkan cerita, yang melewatkan soal berlatih alat-alat teknis yang mungkin banyak yang awam, khususnya remaja. Alat tiup Tuba, euphonium dan sebagainya, betapa sulitnya belajar pernafasan dan meniup alat yang seratus persen mengandalkan kekuatan rongga perut untuk memainkkannya. Paling tidak bisa secuil ditampilkan betapa membutuhkan kekuatan tekad dan disiplin berlatih soal alat-alat itu. pesan ‘berjuang’ memainkan alat sepenuh hati bisa terasa. Namun demikian, sutradara telah menampilkan adegan ini dari sisi latihan mental, saat Tara ‘dibentak’ Rene karena selalu salah memukul senar drumnya. Fokus, fokus dan fokus, rasakan dengan hati, itu yang ditekankan Rene. Rene bermaksud menyampaikan pentingnya ‘bermain’ musik dengan hati agar muncul ekspresi ruhnya.

Tentu saja mungkin akan berbeda dengan novelnya. Karya film terbatas durasi. Namun demikian tujuan dari film ini telah sukses menyampaikan pesan yang kuat terhadap remaja kita khususnya. Memberikan inspirasi ke generasi muda untuk dapat berbuat sesuatu yang terbaik dengan menjadi dirinya sendiri. Berjuang dalam menggapai apa yang diinginkan, dalam kondisi sesulit apapun, karena dengan kerja keras, dan tekad yang kuat pasti bisa meraih apa yang dicita-citakan.

Seperti yang diinginkan sang penulis novel dan skenario,” Lakukan yang terbaik dalam 12 menit dalam hidup, seperti para pemain marching band yang berjuang dalam latihan untuk tampil maksimal dalam 12 menit perlombaan."

Sepakat film ini wajib menjadi tontonan keluarga. Orangtua bisa memetik pesan bagaimana menghadapi ‘mengelola’ keinginan, jati diri sang anak. Demikian juga sebaliknya sang anak dapat mengkomunikasikan keinginannya dengan bimbingan orang tua. Mungkin setelah nonton film ini, muncul ‘mata bijak’ atau mungkin para generasi muda menjadi berminat berlatih marching band. Selamat menonton film yang hari ini serentak diputar di bioskop kesayangan anda.

Film 12 Menit Kemenangan untuk Selamanya (2014) Produser : Regina Septapi Sutradara : Hani R. Saputra Aktor dan Aktris : Titi Rajo Bintang, Olga Lydia, Didi Petet, Verdi Solaiman, Nini L. Karim, Hesti Putri, Noboyuki Suzuki, Amanda Sutanto, Hudri, Arum Sekarwangi, Team Marching Band Bontang Pupuk Kaltim

Salam Nobar

Foto Screenshot youtube dan dokumen pribadi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun