No Peserta 136 = Ganendra X
HARI belum terang. Mentari masih malu-malu menggeliat dari tidur malamnya. Pagi berasa dingin dengan embun-embun menempel di rerumputan yang masih malas membuka mata. Lenguhan lembu dan kambing mengembik manja meminta jatah sarapan pagi pada tuannya. Kokok sang ayam jantan membahana bersahutan di seluruh dusun perbatasan kota di lokasi dekat pantai selatan itu. Pintu hari itu telah terbuka untuk aktivitas segenap warganya. Mengaktualisasikan diri dalam beragam profesinya. Demi keluarga dan ibadah suci pada kehidupan milik sang Pencipta.
Siluet ayunan langkah kecil kaki nampak berjalan menyusuri jalan sepetak. Kedua tangannya menenteng keranjang plastik warna merah jambu. Di tubuhnya terbelit selendang bermotif bunga yang membelit sebuah ‘tenggok’ anyaman bambu di punggung tuanya. Kain jarit batik sablon yang membelit bawahannya, tak mengganggu gerak langkahnya yang ringan namun sigap. Menyelusuri jalan berbatu dengan cekatan.
Lalu berhenti menunggu angkot melintas di ujung jalan. Dia perempuan tua dengan wajah berseri kemilau cahaya riang gembira. Akan sebuah nikmat masa dan hari yang dilaluinya. Tanpa keluh kesah di garis kulit keriputnya. Sosok bersahaja khas perempuan desa. Sosok seorang Ibu yang bertanggungjawab pada anak-anaknya dan semangat kehidupan yang telah menjadi pilihannya. Dialah Ibuku, perempuan sehat yang terlahir 68 tahun yang lalu.
“Bangun pagi sebelum matahari terbit itu sehat lho Lerr. Jangan sampai kamu keduluan bangun sama ‘srengenge. Ntar ilang rejekinya,” katanya dulu.
Pasar kota. Itulah yang menjadi tujuan Ibu setiap hari, setelah menyiapkan keperluan pagi buat keluarga. Pasar yang menjadi urat nadi perekonomian kota kabupaten yang tak begitu besar dan luas. Kota yang masih bersyukur dapat menghidupi masyarakatnya yang tenang dan damai tanpa riak perselisihan. Kota yang stagnan lambat berkembang dikarenakan populasi usia produktifnya lebih banyak tertarik mengadu nasib ke kota besar. Mereka yang lebih bangga menjadi bagian kaum urban di Ibukota, meninggalkan desa yang semestinya dikembangkannya. Termasuk aku?
Ibuku turun dari angkot yang sampai di terminal kecil itu. Langkah yang sama, cepat dan cekatan menuju pasar yang lebih dari 40 tahun diakrabinya. Pasar yang menghidupi aku, kakakku, adikku dan membantu ekonomi keluarga dari Bapak yang menyandang Pegawai Negeri Sipil di kota itu. Perawakan kecil Ibuku tak sebanding dengan nyali dan semangat hidup yang konsisten membara dari waktu ke waktu. Langkah kakinya membawa masuk ke pasar yang cukup besar itu. Berlantai 4 dengan konstruksi dan tatanan lumayan apik. Pasar yang pernah terbakar di medio awal 2000-an itu. Berlokasi strategis di pusat kota dengan jangkauan transportasi yang sangat mudah.
Ibu berjalan menyusuri lorong berlebar semeteran itu. Berlalu lalang, berdesakan dengan pengunjung lainnya. Di setiap kios langganan dirinya bercakap-cakap sebentar terkadang diselingi tawa, akrab khas pedagang. Lalu beliau meninggalkan catatan belanjaan serta bayaran. Begitu seterusnya ia lakukan sesuai dengan kebutuhan warung kelontong yang dibangunnya sejak diriku masih bayi merah. Lebih dari sejam keliling dalam pasar, Ibuku keluar dari dalam pasar dengan membawa barang belanjaan. Ada sayuran, kacang panjang, cabe, kobis, wortel, timun, sawi, dan lain sebagainya. Keranjang bawaannya penuh diisi beragam sayuran dan lainnya. Tangan kecilnya yang kokoh menggenggam keranjang-keranjang plastik itu. Hal yang sama ‘tenggok’ di punggungnya juga penuh oleh belanjaan. Aku melihat sosok pejuang yang ulet bersemangat pada dirinya.
Beliau lalu menuju sebuah warung soto langganannya. Disitulah Ibu beristirahat sejenak sambil menikmati soto dan teh panas kesukaannya. Hangat soto dan panasnya teh tjap ‘dandang’ adalah kenikmatan rasa yang disukainya. Waktu kecil aku sering diajak makan di warung itu. Taste tradisonal begitu kental mencirikan diolah oleh tangan-tangan orang desa yang bersahaja.
“Enak ora Lee, sotone?” Tanya Ibuku waktu itu. (“Enak nggak sotonya Nak”)
“Njiih Buu… enak, enak banget,” jawabku sambil menganggukkan kepala, tanda setuju dengan citarasa segar soto itu.
“Soto ini akan lebih enak lagi kalau nanti kamu beli dengan keringat sendiri,” kata Ibu sambil tertawa.
“Njiih Buu,” jawabku sambil membayangkan suatu saat, jika besar nanti bekerja dan bisa menikmati jerih payah keringat untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Pastilah lebih nikmat. Pesan sederhana dari Ibu yang menjadi pemicu semangat dan keuletan saat bekerja.
Setelah usai makan dan membayar, Ibu lalu memanggil buruh ‘pikul’ langganannya juga. Seorang pria paruh baya berkulit legam dengan perawakan sedang, menghampiri. Ibu lalu memberi catatan ke kios mana saja, dia harus mengambil belanjaan lainnya. Belanjaan yang tak mungkin dibawa sendiri oleh Ibu. Ada sekarung gula pasir, beras, minyak goreng, dan lain-lain. Ibu lalu menunggu di salah satu angkot yang ‘ngetem’ di terminal. Tak lama kemudian barang belanjaan lengkap masuk di angkot. Ibu membayar lebih ongkos angkotnya, karena barang cukup banyak.
Cuaca mulai terik oleh sinar matahari yang beranjak menuju siang. Anak-anak sekolah baru mulai belajar di sekolah-sekolah. Orang-orang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Rumah-rumah sepi meninggalkan para kaum Ibu rumah tangga dan usia non produktif lainnya.
Ibu mulai menyusun barang belanjaannya. Beberapa ibu-ibu tetangga mulai berdatangan. Merekalah para langganan pembeli. Membeli beragam kebutuhan untuk memasak bagi keluarga masing-masing. Berkomunikasi antar tetangga, bercanda, bertukar pikiran permasalahan keseharian menjadi menu utama di setiap pergaulan mereka. Ibu menikmati sekali nampaknya. Ibu menggunakan sarana berjualan bukan hanya untuk mencari penghasilan semata, namun digunakannya sebagai sarana kehidupan sosial. Sarana pemenuhan batinnya. Membantu sesama tetangga dan berkehidupan sosial lainnya. Misalnya saja menjual dengan metode hutang. Sangat jamak terjadi di lingkungan desa, yang memang masyarakatnya tidak banyak menggenggam uang lebih. Menggantungkan hasil panen padi yang musiman.
“Bagaimanapun kita hidup di bermasyarakat, jadi harus bergaul Lee. Saling membantu. Berhutang ya gak apa-apa. Itu salah satu cara kita menolong orang lain. Tetangga adalah saudara terdekat kita, jadi harus menjalin hubungan baik. Ingat itu Lee,” kata Ibu waktu itu.
“Laaa kalau hutang ga dibayar gimana Bu? Khan ibu butuh modal? Tanyaku penasaran.
“Rejeki sudah ada yang ngatur Lee, asal kita ikhlas dan berusaha, pasti ada gantinya. Itu sudah menjadi pengaturanNya Lee,” jawab Ibuku.
Ibu benar, rata-rata semua orang yang berhutang juga tahu diri. Mereka merasa sudah ditolong dan membayar sesuai janji kemampuan. Makanya tak mengherankan, warung sederhana milik Ibu itu mampu bertahan lebih dari 40 tahunan sejak kakakku yang pertama masih kecil. Saat aku masih bayi, hingga saat ini di usianya yang tergolong renta. Bertahan karena ruh dan semangat Ibu ada di dalamnya. Semangat akan hati yang baik berkehidupan dengan sekitarnya.
Itulah hal yang menjawab pertanyaanku mengapa Ibu tidak berkenan saat aku dan saudara-saudaraku meminta menutup warung itu. Mengingat usia dan penurunan fisiknya itu. Apalagi terkadang orang-orang sekitar 'ngrasani', kalau kami membiarkan Ibu masih bekerja di usia tua. Padahal kami sudah menyampaikan agar Ibu dan Bapak menikmati hari tua tanpa bekerja lagi. Kami menyanggupi untuk membiayai kehidupan masa tua mereka berdua.
“Kalian ingin aku cepat mati? Justru dengan warung ini aku awet urip,” jawabnya waktu kami tanyakan soal penutupan warung itu.
Kami hanya bisa mengangguk-angguk. Mungkin perwujudan rasa sayang kami tidak tepat caranya. Ibu sudah memilih cara yang sesuai untuknya. Beliau tahu apa yang dibutuhkan bagi hidupnya. Baginya bekerja adalah ibadah, membangun kehidupan sosial dan membantu orang lain. Menghidupkan ruh dan jiwa semangatnya sebagai manusia seutuhnya. Sebuah pesan sederhana dan manusiawi yang aku ingat dan menjadi prinsip dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Aku ingin hidup penuh semangat seperti beliau.