Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Pengamen Jakarta: Ngeri-ngeri Sedap

13 Juni 2013   11:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:05 398 2
[caption id="attachment_259791" align="aligncenter" width="378" caption="http://monicamonious.files.wordpress.com"][/caption]

Saya tak sedang berminat mengkritisi kinerja Pemprov DKI Jakarta masalah pengamen dan preman yang menjadi Pekerjaan Rumah Pemprov yang makin serius. Ataupun ber’kontemplasi’ soal runyam kehidupan jalanan ibukota, di tengah jargon 'Enjoy Jakarta'. Sisi humanis saya sedang terusik oleh ‘artis-artis jalanan’ para pengamen. Sisi yang dipaksa menelan suguhan ‘live show’ kelas jalanan.

Profesi produk perkotaan ini, tentu menyimpan beragam alasan orang memilih ‘profesi’ ini. Ada yang iseng, apresiasi diri seperti kawan-kawan mahasiswa. Ada yang memang tak punya kerja dan sulit memperoleh kerja seperti adik-adik lulusan sekolah dan putus sekolah. Ada yang memang tak punya skill lain seperti seorang ibu yang terprovokasi ekonominya karena ditinggal mati suami dan mesti membeli susu buat anaknya yang masih balita. Ada pula yang tanpa alasan alias tak tahu mau kerjain apa seperti para pemuda-pemudi bertato itu. Dan masih banyak lainnya.

Dibalik sisi ngeri pengamen (kostum, wajah dan penampilan yang kumal, bertato, sangar dan seenaknya plus gaya intimidatif, kasar saat menyodorkan gelas plastik minta uang) ada tersirat sisi menggelikan dari tutur katanya. Mungkin ini justru sisi yang menghibur kala genjrengan lagunya acak adul. (Ada juga yang merdu dengan membawa alat perkusinya seperti di KRL Jakarta – Bogor).

Siang itu saya sedang asyik BeBeEm-an sambil menunggu bus trayek Kalideres – Sukabumi yang kutumpangi berangkat. Saat itu bus ngetem di bawah fly over kawasan Pesing, Jl. Daan Mogot Jakarta Barat menunggu penumpang. Cukup lama, karena bus trayek jalur ini tak banyak. Sejurus kemudian terdengar lantunan suara mendendangkan lagu. Hal yang biasa terjadi. Pengamen start ‘jualan’ suara. Setelah selesai mulailah mereka menyodorkan gelas plastiknya kepada setiap penumpang. Ada yang memberi sekeping ataupun selembar uang, ada pula yang tidak. Saya sendiri mengulurkan uang gopekan yang biasa kusiapkan untuk meng’hargai’ para pengamen itu.

“Minta keikhlasannya om, buat makan ibu bapak om, kasihan mereka, hari ini belum makan” tuturnya sambil menyodorkan tangannya yang bertato itu mengharap ke-iba-an.

Tak sampai 2 menit berselang, terdengar lagi alunan lagu, masih dari pengamen berikutnya. Sama seperti pengamen sebelumnya, selesai bernyanyi langsung meminta sumbangan ke seluruh penumpang. Tak sampai 2 menit lagi, terdengar petikan gitar lagi. Pengamen lagi. Dia membuka prolog minta ijin untuk ngamen tak lupa juga mendoakan para penumpang agar mendapat pahala kala memberi sumbangan uang. Sejurus kemudian diapun menyanyi dan minta uang ke deretan penumpang. Setelah selesai, tak sampai semenit terdengar prolog lagi. Pengamen lagi!!. Sontak saya bangkit dari kursi dan melongok ke bagian depan (saya duduk di tengah agak ke belakang). Alamaakk…. Ternyata pengamen itu sudah ngantri menjajakan suaranya. Ada 3 orang lagi menenteng gitar!!

Kali ini pengamen keempat itu agak unik prolognya.

Bapak ibu dan saudara-saudara, mohon maaf kalau kehadiran saya mengganggu perjalanan anda. Saya hanya ingin mencari uang untuk makan. Mohon keikhlasannya. Kalau tidak maka saya akan iri dengan pengamen sebelumnya tadi. Mengapa mereka dikasih, tapi saya tidak. Mohon agar tidak membuat iri. Karena jika saya iri, saya akan sedih. Bapak ibu saya, akan ikut sedih jika saya sedih. Bapak ibu sekalian punakan berdosa jika membuat orang lain sedih. Dosa dijauhkan dari rejeki, karena tak mau berbagi. Padahal saya hanya minta sedikit rejeki bapak ibu, bukan minta mobil ataupun rumah...  Bla blab la…. “

Saya dan beberapa penumpang sebelah, tersenyum meski sudah jengah. Masih banyak deretan kata mengintimidasi perasaan penumpang lainnya. Saya hanya terpikir, mereka para pengamen itu menggelikan juga. Entah dapat rangkaian kata darimana. Yang jelas membuat penumpang geli-geli jengah. Ngeri-ngeri sedap.

Terkadang ada pergolakan perasaan, karena agak jengkel dengan perilaku mereka yang tak beretika, saat meminta dengan cara memaksa. Khususnya kepada kaum hawa. Membuat takut, risih hingga terpaksa memberikan selembar dua lembar uang. Posisi yang tak enak. Terkadang pula, kita tak peduli, memandang kearah luar jendela ataupun dengan cara lainnya. 'Sudah mengganggu, minta bayaran.'

Namun baik kiranya kalau kita sedikit menyikapi performance mereka dengan hati enjoy (terlepas dari mau memberi uang atau tidak). Toh itu tidak bikin rugi dan malahan baik untuk diri sendiri. Paling tidak emosi kita terkontrol tanpa mesti ribut menguras enegi positif dengan ‘kekurangan ajaran’ mereka. Jika tak sanggup, pasang aja headset di telinga anda.

“Oooo yaaa oooo yaaa ooo yaaa bongkar… ooo yaaa ooo yaaa oooo yaa bongkar,” nyanyian lagu mereka.

Salam sederhana dari asal.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun