Partai politik dan demokrasi merupakan dua hal yang tidak mungkin dipisahkan. Hal ini karena sejatinya partai politik lahir dari kepentingan golongan-golongan di masyarakat. Makna tersebut sesuai dengan asal kata partai politik dalam bahasa Inggris, yakni pars yang berarti golongan. Berkuasa atau tidaknya partai politik juga ditentukan oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Di Indonesia sendiri spektrum ideologis partai politik terbagi menjadi nasionalis, religius, dan nasionalis-religius. Spektrum ini terbentuk karena budaya politik yang melekat dengan bangsa Indonesia. Setiap spektrum mewakili golongan-golongan masyarakat yang ada.
Sejarah spektrum ini dapat dilacak mulai dari pra-kemerdekaan. Budi Utomo, Indische Partij, dan Sarekat Islam merupakan proto partai modern saat ini. Budi Utomo mewakili bumi putera yang berpendidikan sekolah-sekolah bentukan Hindia-Belanda, Indische Partij mewakili mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Eropa, dan Sarekat Islam mewakili kalangan Islam religus di Indonesia.
Clifford Greetz, seorang antroplog Amerika yang tertarik dengan budaya masyarakat Indonesia melakukan penelitan terkait budaya keagamaan jawa. Menurutnya masyarakat kebudayaan jawa dapat dikategori menjadi tiga golongan, yakni santri, abangan, dan priyai. Setiap golongan memiliki praktik keagamaan dan keyakinana spiritualnya masing-masing. Namun rupanya santri, abangan, dan priyai bukan sekedar pembagian spritualitas jawa. Lebih dari itu setiap keyakinan dalam masing-masing golongan memengaruhi perilaku politiknya.
Santri menurut Greetz adalah kalangan masyarakat jawa yang beruasaha mengamalkan ajaran Islam yang lurus. Pemahaman mereka terhadap syariat Islam jauh lebih mendalam daripada kalangan abangan dan priyai. Kalangan santri mengeyam pendidikan di pesantren dan berguru pada para kiyai.
Abangan adalah kalangan masyarakat bawah jawa yang sebutan lainnya adalah wong cilik. Mereka yang termasuk abangan biasanya berprofesi sebagai petani. Tradisionalisme jawa melekat kuat dalam kalangan abangan. Spritualitasnya sebagaimana masyarakat jawa kuno, percaya akan roh-roh yang memengaruhi alam hidup. Spritualitas ini banyak diekspresikan melalui upacara-upacara tradisonal jawa seperti selametan, bersih desa, tingkeban, sedekah bumi dan lain seterusnya.
Priyai di sisi lain merupakan kalangan atas dan bangsawan jawa. Banyak dari kalangan priyai adalah keluarga pejabat dan terdidik seperti bupati dan birokrat pemerintahan. Secara spiritual, priyai juga lekat dengan tradisionalisme jawa. Perbedaanya dengan abangan adalah, priyai lebih terakulturasi dengan Islam yang praktiknya menjelma sinkretisme agama.
Ketiga golongan ini dalam berpolitik memiliki sikapnya masing-masing. Hal ini tercermin dari pembentukkan dan pilihan mereka terhadap partai politik yang dirasa mewakili mereka secara ideologis. Para peneliti kemudian menyebut fenomena ini sebagai politik aliran.
Pada pemilu pertama di tahun 1995, suara santri, abangan, dan priyai terbagi kedalam tiga partai politik besar. Kalangan santri cenderung memilih Masyumi yang merupakan partai politik gabungan ormas-ormas Islam. Abangan sebagai kalangan bawah dan petani cenderung memilih PKI yang mencitrakan partainya sebagai pembela rakyat kecil. Sedangkan priyai cenderung memilih partai PNI yang banyak pendirinya menjadi tokoh di sana.
Kedaan poltik aliran ini tidak banyak berubah pada masa Orde Lama. Beberapa dinamika memang terjadi, seperti terpecahnya partai Islam menjadi Masyumi dan NU. Dampaknya adalah suara kalangan santri turut terpecah pada kedua partai ini.
Di masa Orde Baru, partai politik difusi menjadi tiga saja. PDI, PPP, dan Golkar. PKI pada masa ini sudah tidak ada sebab upayanya melakukan pemberontakan G30S berbuah pembubaran oleh pemerintah. PDI sendiri merupakan terusan dari PNI secara ideologis dan banyak tokoh PNI yang masuk ke dalamnya. Suara abangan semenjak tidak adanya PKI teralir pada PDI sehingga PDI merepresentasikan dua golongan sekaligus yakni abangan dan priyai. Di sisi lain suara santri kembali bersatu pada satu partai politik Islam yakni PPP. Ada pun Golkar adalah representasi dari Abri dan birokrat pemerintahan yang berkepentingan mengontrol politik di era Orde Baru. Keadaan ini berlangsung selama kurang lebih 32 tahun sampai era Reformasi tiba di tahun 1998.
Pasca Reformasi terjadi Indonesia mengalami liberalisasi politik. Rakyat Indonesia kembali bebas mengekspresikan sikap politiknya. Banyak partai politik yang terbentuk untuk menyambut pemilu pertama Reformasi di tahun 1999. Ada setidaknya 141 partai politik yang dibentuk dan hanya 48 partai politik yang lolos verifikasi berkas oleh KPU. Suara kalangan santri, abangan, dan priyai kembali terpecah pada banyaknya partai yang ada. Namun jika melihat hanya partai pemenang pemilu, maka suara mereka teralir pada PPP, PKB, PAN, PBB dan PK.
Jika kita menarik fenomena partai politik ini pada keadaan masa kini maka kita dapat melihat pola yang kurang lebih sama. Kalangan abangan dan priyai hari ini direpresentasikan oleh PDIP dan santri oleh partai-partai Islam. Namun suara kalangan santri hari ini jauh lebih terpecah karena banyaknya partai Islam yang ada. Santri tradisional yang banyak hidup di pedesaan suaranya teralir pada PKB dan PPP. Sedangkan santri yang hidup diperkotaan teralir pada PKS, PAN, dan PBB.