Mohon tunggu...
KOMENTAR
Vox Pop

Disorientasi Investigasi Terorisme Aceh

27 Juli 2012   02:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:34 288 0

Beberapa hari lalu, pihak Polda Aceh menyatakan, sidang perkara kasus penembakan terhadap pendatang yang melibatkan Vikram alias Ayah Banta bersama 11 rekannya, akan disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta. Seluruh tersangka saat ini masih ditahan di Mabes Polri, namun berkas perkara sudah ke PN Jakarta.

“Ayah Banta cs akan disidangkan di PN Jakarta karena banyak saksi dari Pulau Jawa. Masyarakat bisa mengikuti kasus itu karena sidang terbuka untuk umum. Artinya juga bebas diikuti media massa. Di persidangan nanti terungkap semua motif mereka melakukan teror itu. Mereka dijerat UU terorisme,” kata Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol. Gustav Leo menjawab pertanyaan koran Serambi beberapa waktu lalu (aceh.tribunnews.com). Keterangan ini sejalan dengan pernyataan yang diberikan Kapolda Aceh Irjen Pol Iskandar Hasan bahwa perbuatan Ayah Banta mutlak membuat terror, karena membuat masyarakat resah dan takut meskipun tidak ditemukan adanya spesifikasi sasaran.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, tim gabungan Densus 88, Polda Aceh, dan Polres Aceh Utara menangkap Ayah Banta dan M Joni di lokasi terpisah dalam Kecamatan Jambo Aye, Aceh Utara, dalam waktu hampir bersamaan, Sabtu (14/4) dini hari. Ayah Banta ditangkap di Gampong Lhok Beuringen dan Joni di Gampong Matang Drien. Penangkapan kedua pelaku utama penembakan pendatang di Aceh itu berdasarkan pengembangan dari tersangka sebelumnya, termasuk Jam alias Dugok yang juga terkait teror serupa, sehingga menewaskan 10 orang.

Berangkat dari fakta di atas, saya menilai telah terjadi adanya disorientasi POLRI khususnya Polda Aceh dalam melakukan investigasi atas kasus ini. Dalam sejarah terorisme, tujuan para pelaku terorisme dan motivasinya memang beragam, yaitu demi keuntungan ekonomi (motif ekonomi), gengsi sosial dalam komunitasnya sebagai wujud eksistensi kelompok ataupun memaksakan ideology tertentu, keyakinan, eksploitasi agama tertentu dan lain-lain. Persoalannya, yang terjadi di Aceh lebih karena penciptaan suatu kondisi untuk tujuan tertentu. Sasarannya adalah Kebijakan Pemerintah.

Hal ini dapat dilihat dengan adanya deretan kasus penembakan dan aksi terorisme di Aceh, Pemerintah yang saat itu cenderung “memaksakan” untuk melakukan pemilukada tanpa keterlibatan kandidat dari Partai Aceh mulai lembek hingga terbawa arus suasana hingga menilai keadaan politik Aceh yang inkondusif. Sikap Pemerintah pusat berubah, setelah menimbang keadaan yang “tercipta” dari proses aksi-aksi terror tersebut. Oleh karena itu, saya berani menyimpulkan bahwa sasaran aksi terror yang dilakukan oleh Ayah Banta cs bertujuan untuk menciptakan keadaan, hingga merubah kebijakan Pemerintah pusat, dalam kasus Aceh, menunda pemilukada dan mengikutkan serta Partai Aceh dalam proses pilkada. Siapa yang diuntungkan dari aksi-aksi Ayah Banta cs? Kita semua tahu jawabannya.

Setelah penangkapan para pelaku terorisme Aceh, masyarakat tentunya berharap akan adanya tranparansi dalam proses penyelidikan hingga penyidikan pihak-pihak yang terlibat baik sebagai pelaku, perencana hingga penyandang dana dan aktor intelektual di balik aksi-aksi yang meresahkan warga ini. Namun sayang, lagi-lagi polisi bersikap tidak transparan dalam hal ini, apalagi jika menangani kasus yang melibatkan kekuasaan. Sudah menjadi pengetahuan bersama, siapa Vikram dan M. Jhony, begitu pula dengan para pelaku lainnya yang terlibat. Sebagai simpatisan dan anggota dari Partai Lokal terbesar di Aceh, semestinya Polisi dapat mengembangkan kasus terorisme ini lebih jauh hingga membongkar akar-akarnya. Jika dibandingkan dengan penanganan polisi dalam kasus terorsime yang sama atau bahkan lebih besar seperti bom Bali 1 dan 2, Polisi lebih tajam dan trengginas dalam mengungkap kasus ini, setiap temuan dan fakta yang ada diangkat ke permukaan untuk diketahui oleh publik. Kenapa Aceh berbeda?

Disorientasi Investigasi

Inilah yang terjadi bila Polisi menghadapi kasus yang berkaitan dengan kekuasaan. Berbeda dengan kasus terorisme yang dlakukan oleh Imam Samudera cs yang berlandaskan pada ideology dan pemaksaan keyakinan. Persoalan terorisme di Aceh selalu bermuara pada politik dan kekuasaan. Perebutan kekuasaan, perpecahan dan penggalangan kekuatan merupakan bentuk persaingan antarelit-elit Aceh dalam meraih kekuasaan, bukan merebut hati dan pikiran rakyat Aceh. Ketertutupan Polisi dalam investigasi kasus terorisme di Aceh merupakan bahan evaluasi sekaligus koreksi tidak saja bagi Kepolisian daerah Aceh namun juga media-media lokal dan nasional yang cenderung mengabaikan pemberitaan ini. Bagaimana mungkin, kasus yang yang menelan korban belasan jiwa dan puluhan lainnya terluka dan mungkin ratusan atau ribuan lainnya mengalami trauma psikologis yang akut akibat peristiwa-peristiwa terror diabaikan dan dianggap selesai begitu saja? Cukup hanya sampai Ayah Banta cs.

Sebagaimana halnya dengan penyakit, maka dokter harus mencari akar penyakitnya untuk memberikan obat yang mujarab. Demikian juga dengan Aceh, kasus terorisme ini perlu dicari akar persoalannya, dicari sumber penyakitnya agar supaya tidak menjadi ancaman bagi kehidupan rakyat Aceh di masa depan. Polisi sebagai garda terdepan dalam melayani dan melindungi masyarakat juga harus berani dan tegas dalam memegang teguh prinsip hukum dan keadilan serta berdiri di atas semua kepentingan agar tidak dijadikan alat kekuasaan. Pertanyaannya sekarang, sanggupkah polisi kita?

Rafli Hasan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun