Rencana revisi UU KPK seakan mengulang kembali masa kelam itu. Suasananya tidak jauh beda dengan sebelumnya. Riak-riak penolakan revisi UU KPK bertebaran di mana - mana dari berbagai latar belakang serta kajian bidang keilmuannya. Sebut saja 73 dosen Universitas Andalas (Unand), Padang dan 151 dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) menolak rencana revisi tersebut.
Dalam revisi UU KPK mengatur tentang penyadapan hingga penggeledahan harus seizin dewan pengawas yang dipilih DPR. Kemudian, mencermati materi revisi UU KPK dalam bidang pencegahan, kewenangan KPK mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tampak dipangkas habis. Maka tak heran riak-riak penolakan dari sebagian kalangan elit politik hingga Ketua KPK mengarah pada ancaman masa depan KPK.
Masalah lainnya, rencana DPR untuk merevisi UU KPK yang disepakati 70 anggota dari semua fraksi pada rapat paripurna Kamis 5 September lalu terkesan geliat mengocok kemurnian independensi KPK. Parahnya, jumlah 70 anggota bukan repserentatif lembaga legislatif, karena tidak dihadiri setengah plus 1 alias tidak qorum dari  anggota DPR yang berjumlah 560 orang. Memang sedari awal terlihat inkonsistensi DPR dalam revisi UU KPK.
Makna independensi KPK lebih dalam dimaknai menyapu bersih para koruptor di lembaga  legislatif, eksekutif, dan yudikatif tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Hasilnya, sekitar 29 kepala daerah serta ratusan anggota legislatif terpaksa harus menikmati indahnya sel tahanan.Â