Dua Cangkir Kopi
“Ini hidupku, itu hidupmu. Ini bukan hidup kita, karna kita belum seutuhnya bersama”.
Itu kalimat yang diteriakkan seorang gadis, yang baru saja meninggalkan kekasihnya yang masih duduk di kursi dekat kaca kafe ini. Mungkin mereka bertengkar. Bukan mungkin, tapi memang bertengkar. Dari tadi si cewek hanya diam, menunduk, seperti seseorang yang baru saja aibnya terbongkar. Sedang si cowok sibuk memeriksa isi hape si cewek. Dan mereka membiarkan makanan yang sudah dari tadi diantarkan pelayan dingin di atas meja. Mungkin si cewek selingkuh dan si cowok mengetahuinya. Sekali lagi, mungkin.
Entahlah. Gue juga tidak tau pasti, karna gue hanya memperhatikan mereka dari tadi. Bukan berniat untuk menguping atau ngurusin urusan mereka, tapi tingkah mereka membuat ketenangan gue menikmati senja di cafe ini cukup terganggu. Gue juga sedang duduk di cafe ini. Ini adalah tempat favorit gue menikmati senja di akhir pekan. Gue duduk di belakang pasangan kekasih itu, dua meja di belakang mereka. Dan dari tadi perhatian gue terpusat pada mereka.Menurut gue, ya sayang aja. Niat awal mereka ke sini untuk bersantai, tapi berakhir dengan pertengkaran.
Tapi tenang saja. Gue ga akan bahas pasangan kekasih itu. Ini bukan tentang mereka, tapi tentang gue. Nama gue Axcel, Axcel Lautner lengkapnya. Gue asli Indonesia, meskipun dari nama cukup untuk membuat orang-orang yakin kalo gue adalah bule. Bukan, bukan. Gue asli Indonesia. Nama itu dikasih orang tua gue karena saat mengandung gue, ada film asal Inggris yang tokoh utamanya bernama seperti nama gue sekarang. Dan orang tua gue menyukainya.
Saat ini gue sedang menikmati senja di cafe ini. Ini adalah cafe favorit gue. Dari sini, gue bisa melihat indahnya sunset. Iya, cafe ini berada di tepi pantai. Senja gue kali ini hanya ditemani oleh dua cangkir kopi di atas meja. Juga senja-senja sebelumnya. Hanya ada dua cangkir kopi di meja gue. Gue sudah duduk selama dua jam di sini. Sendiri. Diam. Menikmati senja.
Gue selalu sendiri ke sini. Dulu sempat berdua, cukup lama berdua. Tapi sudah dua tahun ini gue selalu sendiri ke sini. Tapi itu tidak jadi masalah. Gue bisa menikmati sendiri itu. Selagi masih ada kopi, maka hati gue tidak akan merasa sendiri. Gue selalu bisa merasakan hadirnya saat gue minum kopi. Seperti yang pernah dikatakannya dulu, bahwa jika ada dua cangkir kopi di meja, jangan pernah merasa sendiri.
Gue masih duduk di cafe ini. Oke, gue ralat. Ini bukan cafe favorit gue. Tapi cafe favorit kami. Meja dan kursi favorit kami. Tempat ini adalah bagian penting dalam perjalanan kisah cinta kami. Kami bertemu di sini. Dan kami juga berpisah di sini.
Enam tahun yang lalu.
Hujan memaksa gue harus singgah di cafe ini. Gue hendak pergi ke suatu tempat, menggunakan sepeda motor dan ini adalah keperluan mendesak. Namun, derasnya hujan membuat gue luluh untuk mampir ke cafe ini. Gue masuk dengan pakaian basah. Dan sialnya, cafe penuh oleh pasangan muda yang entah memang berniat untuk pergi ke sini, atau hanya untuk menunggu hujan reda. Hanya ada satu kursi yang tersisa di dekat kaca, menghadap ke pantai. Dan di sana juga duduk seorang gadis yang cantik dan lembut. Berambut sebahu, kulit putih, dan mata yang bulat dan cokelat. Dia sedang menatap pantai. Entahlah, dia menatap pantai atau menikmati butiran air hujan yang jatuh.
“Maaf, boleh saya duduk di sini? Hanya kursi ini yang tersisa, yang lain penuh” gue mencoba meminta bergabung. Dan dia mengiyakan hanya dengan senyuman, dan kembali menatap ke luar. Kemudian gue duduk dan memesan secangkir kopi. Dia kembali tersenyum, dan kali ini senyuman yang mengajak gue untuk berkenalan. “ Grace, Easter Grace”, ucapnya sambil mengulurkan tangan dan senyuman yang membuat gue merasa canggung. Gue memberi tahu nama gue.
Dia begitu ramah, mudah senyum dan hangat. Entahlah, mudah sekali untuk kami bercerita banyak dipertemuan pertama. Dua orang asing yang baru kenal tapi sudah seperti dua orang teman yang kenal sejak kecil. Tidak habis-habisnya yang kami bicarakan. Tertawa lepas dengan lelucon-lelucon yang kami buat. Dan semua pembicaraan hangat itu dimulai oleh kopi yang gue pesan. Kami menyukai jenis kopi yang sama. Dan lihatlah, secangkir kopi mampu membuat kami memiliki ikatan. Entah ikatan yang seperti apa, lihat saja nanti.
Gue tahu hujan telah berhenti sejak satu jam yang lalu. Tapi gue memutuskan untuk tidak peduli. Gue membiarkan urusan penting tadi terabaikan. Apalagi yang lebih penting selain bercerita banyak dengan gadis di depan gue ini. Apalagi yang lebih penting selain menikmati senja dengan gadis bermata cokelat ini. Apalagi yang lebih penting selain menyeduh kopi dengan gadis yang bahkan dengan satu senyumannya mampu membuat gue lupa dengan masalah-masalah yang gue punya.
Itu pertemuan pertama yang menakjubkan. Ini terkesan lebay, tapi itulah adanya. Kami saling memberikan nomor handphone, siapa tahu berguna, pikir kami saat itu. Dan tentu saja berguna. Kami melanjutkan percakapan melalui sms. Sesekali melalui telepon. Dua setengah jam belum cukup untuk kami becerita di cafe kala itu. Itulah ajaibnya cinta. Kalian bisa betah berbicara dengan orang yang kalian cintai melebihi 6 sks kuliah Akuntansi. Kalian betah menatap orang yang kalian cintai melebihi betahnya menatap pemandangan dari puncak gunung Rinjani. Kalian betah mendengarkan suara melalui telopon berjam-jam melebihi betahnya kalian mendengarkan lagunya Ed Sheeran.
Kami baru bertemu kembali setelah tiga bulan pertemuan pertama. Dia sibuk, gue juga. Di cafe yang sama, kursi, dan meja yang sama. Kami lebih membicarakan tentang kesibukan kami akhir-akhir ini. Gue sibuk menyelesaikan skripsi dan dia juga sibuk dengan kuliahnya. Gue kuliah tingkat akhir di jurusan Teknik salah satu Institut di kota ini. Dia jurusan Akuntansi tahun dua di salah satu universitas kota ini. Banyak hal yang kami bicarakan. Dari hal-hal sepele hingga hal-hal yang serius.
Selalu menyenangkan berbicara dengannya, melihat senyumnya, dan menghabiskan senja dengannya. Kami mulai sering menghabiskan senja berdua. Rutinitas wajib yang tidak boleh ada penghalangnya. Dalam seminggu kami bisa bertemu tiga kali, minimalnya sekali. Dengan dua cangkir kopi di atas meja. Kami sepakat, setiap kali ke cafe ini hanya akan memesan dua cangkir kopi, tidak boleh lebih, apalagi kurang. Kami tidak akan memesan makanan, kalau ingin makan kita ke tempat lain. Itu kesepakatannya.
Gue dan Grace tidak pernah membahas tentang masa lalu. “ Masa lalu itu bukan untuk diingat, bukan juga untuk dilupakan, tapi hanya untuk dikenang diri sendiri”, itu yang diucapkan Grace saat gue iseng bertanya tentang mantannya. Mungkin gue lancang menanyakan hal itu. Tapi entahlah. Itu tidak jadi masalah.
Setelah tamat kuliah, gue bekerja di salah satu perusahaan di London. Dua tahun sejak pertemuan pertama kami. Kami sudah memiliki ikatan. Setidaknya cincin di jari manis kami dapat menjelaskan semuanya. Gue sangat sibuk meski masih sempat menanyakan kabar Grace. Dia juga sibuk dengan skripsinya. Kesibukan yang membuat gue tidak tahu satu hal tentang Grace. Kekeliruan dipertemuan pertama. Gue salah mengartikan senyuman kedua dipertemuan pertama. Senyuman yang siapa saja melihatnya akan percaya bahwa dia dalam keadaan baik-baik saja. Tapi kebenarannya malah pada senyuman pertama dipertemuan pertama. Senyuman canggung dan tatapan mata kosong. Itulah kebenarannya.
Grace divonis kanker rahim stadium tiga saat tamat SMA. Dan bodohnya gue baru tau kebenaran itu dipertemuan terakhir kami di cafe ini. Emat tahun sejak pertemuan pertama kami. Bahkan gue tidak sadar dengan kalimat-kalimat terakhir yang dia ucapkan adalah sebuah isyarat. “Kita seperti dua cangkir kopi. Aku dan kau. Hampa saat hanya ada secangkir kopi di meja, tapi tidak jika dua. Kau ingat, saat pertemuan pertama kita, aku duduk sendiri di sini dan hanya dengan secangkir kopi”, ucapnya dengan tersenyum. “Iya, dan kau hanya menatap ke luar kaca”, gue menyambung. “Aku menatap kosong butir air hujan. Hampa”, balasnya. “Tapi kemudian kita berbicara banyak”, gue mengingatkan. “iya, setelah secangkir kopimu datang”, dia menjelaskan detail pertemuan pertama kami. Dan gue bingung mengapa dia membahas kejadian empat tahun yang lalu itu.
“Acxel, ingatlah satu hal. Kita adalah dua cangkir kopi. Selagi ada dua cangkir kopi di meja, jangan pernah merasa sendiri”, pesannya.
Gue bingung dengan kalimat-kalimat itu. Dan lebih bingung lagi saat dia tiba-tiba jatuh dari kursi. Gue berusaha secepat mungkin membawanya ke rumah sakit. Tapi percuma. Dia sudah pergi untuk selamanya.
Gue merasa menjadi cowok paling bego sedunia.
Dan kini, setelah dua tahun kepergian Grace, gue masih sering datang ke sini. Gue memutuskan kembali pindah ke kota ini beberapa bulan setelah Grace pergi. Bukan untuk menyiksa diri sendiri, tapi gue merasa lebih nyaman di kota ini.Setidaknya, dengan datang ke cafe dan dua cangk kopi di meja, akan selalu ada Grace.