Begitu juga, "Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kalian menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik" (QS. Ali Imran/3: 110).
Nabi mengajari teknik untuk mencapai tujuan dakwah itu, "Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman" (HR. Muslim).
Dalam retorika, dari sisi isi pesan yang disampaikan ada tiga tujuan utama, yakni informatif, persuasif, dan rekreatif. Dari sisi ini bisa ditambahkan lagi, yakni edukatif dan advokatif. Kelima tujuan retorika ini berkaitan dengan tujuan dakwah. Maksudnya, amar makruf dan nahi mungkar bersifat informatif, persuasif, rekreatif, edukatif, dan advokatif.
Dari sisi cara menyampaikan pesan, tujuan retorika minimal ada dua, yakni monologika dan dialogika. Monologika adalah gaya bicara monolog atau searah yang umumnya disampaikan saat pidato, ceramah, dan khutbah. Dialogika adalah gaya bicara dialogis atau dua arah.
Dalam dakwah Nabi, banyak riwayat yang memuat dakwah dialogis ini. Pertama, dalam kitab Fathush Shamad mengutip satu hadits Nabi yang bersumber dari Ibnu Umar. Ibnu Umar bercerita, "Dalam satu perjalanan, kami bersama Rasulullah. Sekonyong-konyong seorang Arab pedalaman mendekat.
Nabi meresponsnya dengan bertanya, "Wahai kisanak, kamu hendak kemana?" Orang itu menjawab, "Hendak pulang ke keluargaku." "Apakah kisanak menginginkan kebaikan?", seloroh Nabi. Orang itu menjawab, "Apakah itu?"
Nabi menjelaskan, "Kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan (kamu bersaksi) bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya". Namun orang itu malah berkata, "Siapa saja yang akan bersaksi kepadamu untuk (membenarkan) ucapan tersebut?" Secara tangkas Nabi menjawab pertanyaan orang Arab pedalaman itu, "Pohon ini atau buah ini".
Pohon tersebut berada di tepi jurang. Karena bumi mendekatkannya, seketika pohon tersebut ada di hadapan Nabi untuk menghadap beliau. Setelah itu, Nabi bersyahadat tiga kali. Pohon itupun bersyahadat seperti halnya Nabi. Kemudian pohon itu meninggalkan Nabi untuk kembali ke tempat asalnya.
Kedua, dalam kitab al-Mawaidz al-Ushfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abi Bakar menuliskan keislaman Abu Bakar yang diawali dari mimpi. Ketika berada di Syam (kini Suriah), dia bermimpi melihat matahari dan bulan di dalam kamarnya. Lalu matahari dan bulan itu direngkuh dengan kedua tangannya. Dia mendekap keduanya erat-erat. Tak hanya itu, dengan surbannya, matahari dan bulan diikat agar tidak pergi. Tatkala Abu Bakar terbangun, dia buru-buru pergi untuk mendatangi seorang pendeta Nasrani yang masih beriman dengan agama tauhid untuk bertanya ihwal mimpinya.
Di hadapan sang pendeta, Abu Bakar menceritakan secara lengkap mimpinya. Kemudian Abu Bakar memintanya untuk memberikan tafsir mimpi tersebut. Abu Bakar ditanya, "Kamu dari mana?" Abu Bakar menjawab, "Mekah". Pendeta itu bertanya lagi, "Dari suku apa?" Abu Bakar menjawab, "Dari suku Taymin." Tak hanya itu, sang pendeta kembali bertanya kepada Abu Bakar, "Apa pekerjaanmu?" Abu Bakar menyahut, "Berdagang." Usai melancarkan sekian pertanyaan, pendeta itu berujar, "Pada masamu ini akan datang seorang laki-laki keturunan Bani Hasyim yang bernama Muhammad al-Amin. Ia bermarga Hasyim dan akan menjadi nabi akhir zaman.
"Kalau tidak ada beliau, niscaya Allah tidak akan menciptakan langit dan bumi. Termasuk apa saja yang ada pada keduanya. Tanpanya, Allah juga tidak akan pernah menciptakan Nabi Adam, para nabi dan rasul. Muhammad itu pemimpin para nabi dan rasul. Ia adalah nabi terakhir. Kamu akan masuk agama Islam yang dibawanya.
"Kelak kamu akan menjadi orang kepercayaannya sekaligus bakal menjadi pengganti kepemimpinannya. Inilah makna mimpimu itu", pungkas sang pendeta. "Aku mendapatkan informasi ihwal ciri-ciri dan sifat-sifat Muhammad di dalam kitab Taurat, Injil, dan Zabur. Sungguh, aku sendiri sudah mengikuti agamanya. Hanya saja aku menyembunyikannya."
Usai mendengar penjelasan sang pendeta tentang sifat-sifat Nabi, Abu Bakar luluh hatinya dan merasa rindu untuk bertemu dengan Nabi di Mekah. Sesampainya di Mekah, Abu Bakar tak membuang waktu, ia langsung mencari Nabi dan ia berhasil bertemu. Sejak pertemuan itu, Abu Bakar jadi kian cinta kepada Nabi dan tidak pernah ingin berpisah.
Kondisi hati Abu Bakar seperti itu berlangsung cukup lama, hingga suatu hari Nabi bertanya kepada Abu Bakar, "Wahai Abu Bakar setiap hari kamu mengunjungiku. Seringkali juga kamu duduk bersamaku. Namun mengapa kamu tidak masuk Islam?" Abu Bakar menjawab, "Jika kamu benar seorang nabi, tentu kamu memiliki suatu mukjizat."
"Apakah belum cukup untukmu mukjizat yang kamu alami dalam mimpimu ketika kamu berada di Syam, dan mimpimu itu ditafsirkan oleh seorang pendeta Nasrani yang juga sudah menyatakan keislamannya?" desak Nabi. Lalu seusai mendengar sabda Nabi itu, Abu Bakar berikrar, "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan kamu adalah utusan Allah."
Ketiga, masih dalam kitab al-Mawaidz al-Usfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abi Bakar mengutip sebuah hadits Nabi yang bersumber dari Abu Dzar al-Ghifari. Abu Dzar bertanya, "Ya Rasulullah ajarkan aku satu perbuatan yang mendekatkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari neraka."
Nabi menjawab, "Jika kamu melakukan kejelekan, maka ikutilah dengan kebaikan." Abu Dzar bertanya lagi, "Apakah termasuk kebaikan kalimat 'Laa Ilaaha Illaahu itu'?" Lalu Nabi menjawab, "Benar, bahkan kalimat itu adalah yang terbaik di antara yang baik."
Keempat, bersumber dari Abu Hurairah, dia mengaku mendengar Nabi bersabda, "Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga." Para sahabat bertanya, "Engkau juga tidak wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah" (HR. Bukhari).
Dari sisi pedagogik, diperkenalkan empat tujuan retorika, yakni korektif, instruktif, sugestif, dan defensif. Keempatnya bisa digunakan untuk mencapai tujuan dakwah di atas.
Jika disimpulkan, tujuan retorika dapat dibagi ke dalam tiga sisi, yakni berdasarkan isi, cara, dan pedagogik. Semuanya dipandang mampu menghantarkan pada tujuan dakwah, yakni amar makruf dan nahi mungkar.