Detak-detik jam berlalu kian terasa. Sang waktu memang kan selalu terus berlalu tanpa ada halang waktu kuasa-Nya. Bersama nyanyiannya ku utarakan sebuah janji yang harusnya terlaksana. Aku pun menari riang gembira saat membayangkan semua kan berjalan seperti rencana. Janji yang biasa disebut amanah karena hanya melaksanakan berniat untuk mendapat ridho-Nya memang mudah diucapkan tetapi kadang sulit dilaksanakan. Tubuh ini selalu bergetar ketika mendengar kata itu, amanah. Disaat lalai, maka amanah itu pun terbengkalai. Sang waktu pun takkan mau mendengar kita beralasan dengan santai. Alih-alih akan ada hati yang terdzolimi ketika malah sibuk urusan pribadi. bernarsis ria Ditemani tubuh yang mulai lunglai, aku membasuh muka dengan air wudhu’, membuang sisa-sisa lelah yang terlukis di wajahku. Hari ini agendaku padat, walau memang tak ada alasan untuk terlambat. Kuliah ini dan itu hingga harus mengemban amanah disini dan disitu. “Kak Fikriii, Assalamualaikum”, sebuah suara mengawali rentetan suara-suara lainnya yang bersahutan memanggil namaku. Sajak sepi yang tadi mengalun merdu sirna tiba-tiba. Suara ini tak asing lagi, suara emas para generasi masa depan yang biasa ku temui di masjid tempat kami merangkai mimpi, menjadi generasi muslim sejati. Jemariku mendekat ke arah pintu dan membukanya perlahan.“Kakak sholat dulu ya”, pintaku dengan nada ramah. Nada yang jika kupikir masih jarang tergambar dari kata maupun mimik wajah sebelum aku mengenal mereka. Sambil menungguku melakukan tarian penghambaan kepada Tuhan, mereka bercakap ria seperti biasa. Tertawa bergurau hingga dinding sepi kostku menggema, merasakan keceriaan dan sukacita. Pastilah jemu ia berdiri tegak, menopang atap hingga ku bisa tidur dan beraktivitas dengan bahagia di bawah. Sementara tak ada keceriaan yang ku bagi dengannya. Malah raut penuh kesal dan nada kecewa ku lantunkan ketika pulang kuliah. “Mau kemana ini kak?” “Ke danau lagi aja kak” “Keliling STT lagi” “Bentar ya”, tanganku masih sibuk menyiapkan apa yang telah ku rencanakan tuk hari ini. Hari ini adalah hari minggu, hari yang sama sejak dua minggu lalu ku canangkan program tadabbur alam dan belajar Islam di luar. Belajar Islam memang sebuah kewajiban, dan usia sangat sayang jika hanya mengenal dunia saja yang takkan ada habisnya. “Nanti kita main games”, ujarku. “Horeee”, teriak mereka serempak kegirangan. Aku pun menuntun kaki-kaki kecil pembawa harapan besar itu melangkah keluar. Kampusku minggu sore tampak lengang. Waktu liburan yang tlah datang membuat aspal hanya sesekali menerima ciuman dari ban, sesuatu yang sudah terlalu sering ia rasakan ketika hari-hari sibuk jalanan Sukabirus berjalan. Enam anak hari ini ikut, jumlah yang sama ketika dua minggu lalu semua mulai digelar. Bermula dari sesuatu yangSaat itu mereka menawarkan untuk tetap mengaji di hari minggu, hari dimana biasanya TPA kecil kami diliburkan. Namun, ternyata masjid digunakan untuk Ibu-Ibu pengajian, jadilah aku mengajak mereka keliling kampus dengan seorang pengajar. Dan hari ini senja menyapa kami dengan ramah. Tak ada mendung sedikitpun terhampar di angkasa. Jadilah ku persiapkan semuanya dengan suka cita. “Ko’ hanya berenam?” “Lha emangnya mau berapa kak?’ “Kakak kira ada sepuluh atau lebih”, selorohku hingga membuat mereka geram. Bahkan si kecil Sri juga ikut-ikutan, meniru kata-kata kakaknya, Yuli yang mencoba protes karena aku berniat memanggil lainnya. Mereka berenam memang termasuk yang paling rajin diantara yang lain. Jadilah mereka terkesan kurang suka dengan yang lain karena hanya main-main dan membuat keributan saat mengaji. “Lagian lama kak nunggunya. Mereka belum mandi, masih bau kayak kakak”, celetuk Erika. “Iya kak, mereka juga banyak yang ke rumah Gilang. Dia hari ini disunat. Makanya khan ada dangdutan”, tambah Sundari. Aku pun tak bisa berkata apa-apa lagi. Bisa-bisa tangis Sri pecah disini, bidadari paling mungil ini memiliki tangisan besar yang bisa membuatku panik karena pasti mengundang perhatian orang.
Nanti aku dikira nyulik nih bayi, atau dikira macem-macem. Dua pengajar lain datang hingga membuat acara kami lebih semarak lagi. Sebuah games kecil di depan gedung megah Learning Center, kebanggaan seantero kampusku. Dan senja kemballi menjadi saksi, pesona yang mulai perlahan tanpa ku sadar menghampiri. Aku menikmatinya. Aku mensyukurinya. Sebuah canda tawa, momen indah dengan mereka, para mujahid - mujahidah masa depan. “Braak”, Dika jatuh dan menangis keras. Namun syukurlah ada Fantri, teman seperjuangan yang dengan sigap mengobati dan menenangkan laki-laki kelas dua sekolah dasar ini. Permainan merangkai huruf estafet akhirnya usai sudah. Terpaksa diganti tanpa merangkai huruf menjadi nama Nabi tanpa lari. Dan angin senja membuat suasana lebih meriah. Kertas-kertas yang ku gunting sebelumnya itu tertiup berhamburan, membuat mereka panik tetapi riang. Dika dengan hasil mewarnainya Itulah permainan yang tampaknya bisa maksimal. Permainan kedua hanya teka-teki silang. Revi dan Fantri membacakan soal. Aku sibuk menjadi pengawal Sri yang lincah menggodaku berlari menginjakkan kaki kecilnya di tangga LC. Dua kelompok tampaknya berat sebelah sehingga salah satu terlihat muram tanpa menikmatinya. Dan alhamdulillah semua berujung senyum di akhir cerita ketika hadiah dibagikan. Tak ada raut tangisan ataupun muram lagi bermunculan. Petualangan kami berakhir disitu hari ini. Namun akan terus berlanjut lagi di lain kesempatan. Berlanjut dan berlanjut, hingga senja kan jemu melihat pesona mereka tumbuh dan menjadi generasi masa depan yang berilmu. Hari ini adalah hari terakhir bermain dengan mereka, sebelum kepulanganku ke tanah kelahiran tercinta selama tiga bulan lamanya. Aku pasti merindukan mereka. Sebuah kepastian yang terbersit ketika melihat senyum tulus mereka terbayang. Sayonara, we'll continue later! Generasi Masa Depan (Della, Erika, Sri, Yuli, Sera)
“Jika mau ngajar maksimal, luruskan niatmu. Lalu tanamkan pada dirimu bahwa bukan mereka yang membutuhkanmu, namun kamu yang membutuhkan mereka. Akhirnya nikmati semua itu”.
KEMBALI KE ARTIKEL