Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Sebuah Janji

21 Mei 2012   04:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:01 279 0
Aku terhempas begitu saja di bangku taman ini. Entah mengapa, aku hanya ingin menenangkan diri dari segala rutinitasku yang sangat padat. Kupandangi danau buatan di tengah taman untuk menentramkan hati. Pepohonan yang rimbun dan hijau membuat mataku beristirahat dari silaunya layar kaca laptop.

Teringat olehku beberapa tahun yang lalu. Tanganku sibuk menggunting dan menempel kertas di sebuah buku yang kubuat sendiri. Buku itu menceritakan tentang sesuatu dari diriku tentang dirinya. Ia yang selalu menggetarkan hatiku begitu indah. Aku selalu memikirkannya, menginginkannya, tapi aku tak banyak berharap darinya.

Lima tahun sudah berlalu. Aku tak tahu bagaimana kabarnya, sedang apa ia saat ini, bagaimana rupanya sekarang. Semua hilang sudah sejak kelulusan SMAku. Apakah ia masih mengingat janji itu?

Sebuah janji yang ia ucapkan padaku. Entah itu janji busuk atau janji yang pasti. Namun, yang kutahu pasti janji Tuhan lebih pasti dalam hidupku. Aku hanya mengingat janji itu tanpa terlalu mengharapkannya. Sama seperti lima tahun yang lalu. Aku memikirkannya tapi tak terlalu mengharapkannya.

“Permisi, Mbak. Boleh duduk disini?” sapa seorang lelaki.

“Silahkan, Mas,” jawabku seadanya tanpa meoleh. Tidak terlalu mempedulikannya.

“Kok sendiri aja, Mbak?”

Sudah dipersilahkan duduk, mengapa ia harus bertanya-tanya mengajak ngobrol sih? Kataku dalam hati.

“Memangnya kenapa?” jawabku sambil menoleh padanya.

“Hai, Dea,” sapanya. Aku terkejut melihat rupa laki-laki dihadapanku.

“Bagaimana kabarmu? Aku sudah lama mencarimu,” katanya. Lidahku kelu, tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Sama seperti lima tahun yang lalu ketika aku berada di dekatnya. Tak berani menyapa, hanya berani melihat dari jauh atau memantaunya lewat jejaring sosial.

“Kamu? Billy?” Hanya dua kata itu yang sanggup kuucapkan.

“Iya. Kenapa sih? Kayak melihat hantu saja. Kamu masih sibuk seperti dulu? Kesibukanmu apa? Masih suka menulis?”

“Ah, iya. Aku kaget aja ngeliat kamu lagi. Masih, kok. Kamu sedang sibuk apa?” tanyaku berbasa-basi, tanpa mengingatkan janjinya dulu.

“Aku lagi sibuk mengurus bisnisku. Seperti yang kuimpikan dulu, memiliki usaha sendiri.”
Setelah lama berbincang-bincang. Kami bertukar nomor dan pin. Aku kembali dalam duniaku sehari-hari dan ia pun demikian. Bedanya setelah dari taman tersebut, tidak hanya pikiranku yang tercerahkan, tapi hatiku juga tercerahkan akan kedatangannya. Apakah ia masih ingat janji itu? Kurasa ia melupakannya. Sepertinya ia juga lupa akan perasaanku padanya.

BIP. Sebuah pesan BBM masuk. Dari Billy

“Hai, Dea. Sabtu sore besok kamu sibuk. Aku harap kamu sedang tidak sibuk. Aku membutuhkan bantuanmu, kalau kamu tidak sibuk.”

“Bantuan apa?”

“Sabtu saja, kalau kamu tidak sibuk. Kamu sibuk atau tidak di Sabtu sore? Kalau kamu sibuk yausudah. Tapi hanya kamu yang dapat membantuku.”

“Kebetulan sih Sabtu nggak sibuk. Ketemuan dimana?”

“Taman yang kemarin saja.”

“Ok.”

Obrolan messangger tadi membuatku penasaran. Bantuan apa untuk Sabtu sore nanti? Aku hanya bisa menunggu hingga Sabtu itu datang.

Aku datang ke taman tepat pada waktunya. Tidak seperti kebanyakan menepati janji pertemuan lainnya, yang sering terlambat lima menit. Aku menghampiri bangku taman dan duduk menunggu Billy.

Kembali kenangan lima tahun lalu menghampiriku. Aku mengirimkannya SMS untuk memintanya bantuan, seperti yang dilakukannya padaku. Kemudian, di hari yang sudah kami sepakati, aku menyatakan perasaanku padanya. Tak lupa aku memberikan buku buatanku, yang berisi perasaanku, kepadanya. Setelah aku menyatakan semuanya, ia tidak mengatakan apa-apa tentang perasaannya. Hanya menyatakan sebuah janji.

“Hai. Sudah lama menunggu ya,” sapa Billy yang tiba-tiba saja ada di sampingku.

“Nggak juga, kok. Emang kamu butuh bantuan apa?” tanyaku penasaran.

“Dea, kamu ingat ini?” Secara perlahan-lahan, Billy mengeluarkan buku itu dari tasnya. Masih sama seperti dulu. Bersampul coklat dengan berbagai tulisan hias, kertas, dan foto di dalamnya.

“Kita buka dan baca bersama ya,” ajaknya.

Dengan hati-hati, aku membuka buku itu kembali. Aku masih tak percaya bahwa ia masih meyimpannya. Kami berdua memandang kearah buku buatanku itu. Mata kami menari-nari membaca kata demi kata yang kutulis dan melihat foto-foto yang ada di dalamnya. Kami tertawa melihat beberapa cerita yang lucu. Sedikit demi sedikit, suasana tegang diantara kami mulai mencair seiring dengan gelak tawa kami menertawakan kekonyolanku dalam buku ini. Akhirnya, kami meutup buku ini bersama-sama.

“Aku sudah menepati janjiku,” ucapnya.

“Aku tak menyangka, kamu mengingatnya.”

“Ada satu hal lagi yang ingin aku sampaikan. Ini terkait dengan minta bantuanmu.”

“Apa?”

“Sebelumnya, aku mau bertanya. Adakah orang lain pengisi hatimu? Jika sudah ada, lupakan semua yang akan aku katakana ketika aku selesai mengatakannya.”
Kata-katanya membuatku bingung. Kemudian aku menggeleng, sebagai isyarat tidak ada.

“Dea, lima tahun lalu ketika kamu mengatakan perasaanmu padaku sebenarnya disaat itu ada hal penting yang ingin kusampaikan juga. Aku juga mencintaimu. Aku juga memikirkanmu. Segala yang kau tulis tentang diriku kepadamu, itu wujud dari perasaanku padamu. Tapi, saat itu aku masih ingin fokus dengan masa depanku. Ku juga belum bisa memberikan apa-apa untukmu. Kini, kuberikan cintaku padamu. Maukah kamu menerimanya?”

Hatiku bergetar. Lidahku kelu. Mataku hanya bisa menatapnya. Tatapan kekagetan dan kebahagiaan. Akhirnya sebuah tenaga membuatku dapat mengatakannya.

“Tentu saja aku mau. Aku sudah menunggumu sejak lama. Kukira, hanya aku yang memiliki perasaan itu.”

Hari itu merupakan hari bahagia dalam hidupku. Cintaku yang lama tak kuketahui akankah datang. Kini, aku sudah berjalan bersamanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun