Saya cukup bersyukur karena rupa-rupanya, kesepian di siang hari tergantikan dengan ramainya masyarakat menunaikan ibadah tarawih di malam hari. Mulai dari anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak hingga kaum jompo pun berdatangan. Sungguh, ini pemandangan yang jarang sekali tampak di hari-hari biasa sebagaimana biasanya saya pun absen di mesjid di bulan-bulan selain Ramadhan. Semoga Ramadhan ini menjadi titik balik menjadi baik.
Bulan puasa, sama sekali, tidak berarti berpuasa juga dari segala aktivitas produktif hari-hari biasa. Seorang yang berpuasa, sama sekali, tidak dilarang untuk menjalankan aktivitasnya sebagaimana biasa. Bahkan, aktivitasnya itu pun, di bulan penuh rahmat dan penggandaan pahala ini, bisa dihitung sebagai sebuah ibadah yang berlipat-lipat ganjarannya. Logikanya, tidur saja, di bulan Ramadhan, dinilai sebagai ibadah---apalagi lebih dari tidur; mengerjakan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Tentu juga bernilai ibadah.
Maka, saya sering bercanda dengan mengatakan bahwa tidur di bulan puasa memang dinilai ibadah, namun kenyataannya, lebih banyak orang yang memahami sebaliknya: bahwa ibadah yang dinilai di bulan puasa hanyalah tidur saja sehingga ia mengisi bulan Ramadhan hanya dengan tidur. Saya pun memohon perlindungan dari Allah dari itu semua karena terkadang, entah mengapa, saya pun lebih suka untuk menidurkan diri ketimbang mengerjakan hal lain yang barangkali mengingatkan saya pada hal-hal yang berhubungan dengan makan dan minum.
Awalnya, saya sempat berpikir sebagaimana di atas. Saya cukup khawatir jika terlalu banyak kegiatan akan menguras tenaga saya. Namun ternyata, apa yang saya pikirkan sangat jauh panggang dari api: berbanding terbalik dari apa yang ada di dunia nyata, yaitu ketika pagi tadi, selepas tadarus subuh, saya mendapatkan kabar bahwa salah satu tulisan saya memenangi AUDISI EMAK JALANAN dalam rangka membantu RUMAH DUNIA di Banten. Tulisan itu kelak akan dibukukan dan saya merasa begitu semangat ketika mendengar kabar tersebut.
Walhasil, semangat pagi itu menghilangkan kantuk yang biasanya datang karena harus bangun pukul dua pagi untuk mencari sahur ke warung-warung yang buka semalam suntuk di sekitar kampus. Semangat yang bergairah itu saya gunakan untuk menulis beberapa ide yang telah lama saya petakan. Sebuah tulisan selesai sebelum dzuhur dan dikirim ke media yang telah diniatkan sebelumnya. Saya pun heran karena tanpa terasa, sore telah menjelang. Aktivitas itu malah melupakan saya akan waktu yang terus berjalan menuju kemenangan ketika berbuka puasa.
Bahkan, sebelum berbuka pun, bersama teman-teman yang tergabung dalam Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affair's, saya menyempatkan untuk berbagi kisah berkumpul bersama anak-anak panti asuhan Babussalam yang berada di sekitar kawasan kampus. Ternyata, kegiatan sama sekali tidak mengurangi kenikmatan berpuasa, bahkan dapat menambah kenikmatan ketika berbuka karena merasakan energi yang masuk itu begitu terasa