Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Tadarus #2: Pengabdian Hamba Pada Tuhan

1 Agustus 2011   18:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:10 392 0
Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa. Puasa itu milikku dan Aku akan memberikan pahala atasnya. ---Al-Hadist

Sungguh, sering sekali di setiap Ramadhan, hadis di atas diperdengarkan. Hari ini, pun, saya telah mendengarkan hadis yang termasuk qudsi tersebut karena yang mengatakannya adalah Allah Swt dengan perantara Nabi Muhammad Saw.

Satu hal yang menarik perhatian saya dari hadis di atas adalah bahwa pahala atas puasa seorang hamba, tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Allah Swt. Amal-amal yang lain, barangkali, bisa saja diukur kadar pahalanya. Namun, untuk puasa, hal pemberi pahala hanya ada di tangan Allah semata. Ibadah-ibadah lain, bisa saja, diketahui sisi-sisi yang dinilai. Namun, puasa, hanya Allah yang benar-benar tahu tentang kualitas puasa seorang hamba.

Siapa yang dapat menyangka, jika misalnya, seorang yang lemas adalah orang yang benar-benar puasa karena kekuatan fisiknya telah terkuras karena menahan rasa lapar dan haus? Bukankah ada hadis yang lain yang mengatakan bahwa ada begitu banyak hamba Allah di dunia ini yang berpuasa dan hanya mendapatkan lapar dan haus saja? Mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali dua rasa itu saja. Tidak mendapat pahala, tidak mendapatkan keridhoan Allah atau derajat taqwa yang memang menjadi tujuan akhir dari ibadah puasa ini.

Siapa pula yang dapat menghakimi, jika misalnya, seorang yang ceria luar biasa, produktif sebagaimana biasa layaknya hari di luar bulan puasa. Ia bekerja sebagaimana bulan-bulan lainnya. Tidak ada yang berubah dari semangat dan kinerjanya. Hal ini tentu saja tidak bisa kita hakimi sebagai orang yang tidak berpuasa bukan? Toh, kita juga masih ingat bahwa pada zaman Nabi dulu, perang badar dilakukan saat kaum muslimin berpuasa. Bukankah semangat juang mereka juga tidak turun?

Inilah bulan Ramadhan, bulan pengabdian hamba pada Tuhannya. Pengabdian seorang muslim pada Allah Swt.

Mari kita bahas sedikit tentang pengabdian yang dimaksud di atas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mengabdi diartikan sebagai menghambakan diri. Definisi tersebut, barangkali, didasarkan pada apa yang menjadi arti abada-ya’budu dalam bahasa Arab.

Dalam al-Qur’an, kita mendapatkan kata tersebut, salah satunya, dalam surat adz-Dzariyat ayat 56 dengan bentuk verb (fi’il). Dijelaskan dalam ayat tersebut bahwa Allah menciptakan manusia dan jin agar mereka mengabdi pada-Nya (liya’budun). Namun demikian, tidaklah dapat dipahami bahwa Allah memerlukan pengabdian manusia dan jin, melainkan manusia yang perlu mengabdi padanya. (Surat Ibrahim: 8)

Dengan demikian, pengabdian dalam bulan Ramadhan dapat digambarkan sebagai pengabdian total yaitu pengabdian tanpa memikir apa yang akan diperoleh dari aktivitas mengabdinya. Pengabdi yang tidak menyoalkan apakah aktivitas mengabdinya diterima atau tidak, diganjar atau tidak, dihargai atau tidak. Ia hanya pengabdi yang mengabdikan diri secara totalitas.

Mengabdi sebagaimana di atas, fokusnya hanya pada diri pengabdi itu sendiri. Meningkatkan derajat ketaqwaannya. Ia terus mengabdi meningkatkan keimanannya sehingga lambat-laun, pengabdian mengantarkan dirinya pada derajat taqwa. Catatan: hal itu tidak dilakukannya dengan melihat apakah pengabdiannya hari ini dinilai sebagaimana pengabdiannya kemaren, atau lebih tinggi dari hari kemaren, atau bahkan lebih rendah. Ia hanya terus mengembangkan dirinya sendiri, sembari memohon kualitas dirinya dapat terus meningkat.

Inilah mengabdi yang benar-benar didamba. Negara mendambakan pengabdi negara sedemikian rupa, yang mengabdikan diri secara totalitas tanpa memerhatikan apakah pengabdiannya itu dihargai (gaji, popularitas, derajat) layak atau tidak. Ia terus saja bekerja, tak peduli apakah hasil kerjanya dikenal masyarakat banyak atau tidak. Pengabdi seperti ini banyak kita baca di sejarah para pahlawan negara yang tidak dikenal namanya namun tentu sangat besar jasanya.

Agama pun memerlukan pengabdi seperti ini. Sekolah juga demikian. Pesantren, kampus, lembaga-lembaga pendidikan non-formal dan lain sebagainya. Pengabdi sebagaimana di atas, tidak pernah mengambil pusing permasalahan bagaimana kehidupannya ke depan, karena ia paham bagaimanakonsep pengabdian hamba pada Tuhannya. Ketika hamba telah mengabdi, Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan pengabdiannya. Selalu ada ganjaran dari setiap tindak tanduk hamba. Sekecil apa pun itu.

Renungkanlah...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun