Dimulai pada 1 Januari 2014, Indonesia memasuki babak baru dalam dunia pelayanan kesehatan, yaitu diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Pengawas Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan transformasi dari PT Askes. Menurut Peraturan Presiden No. 12 tahun 2013, jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Seperti yang bisa kita tangkap disini, niat mulia JKN dimaksudkan agar rakyat Indonesia memiliki jaminan kesehatan, tidak perduli kaya atau miskin, pria atau wanita, tua atau muda, semuanya harus terjamin untuk mendapatkan jaminan dan pelayanan kesehatan yang layak. Semua warga Indonesia wajib menjadi peserta JKN dengan membayar premi yang dianggap “layak” oleh pemerintah, yaitu untuk kelas III membayar premi sebesar Rp. 25.000/orang/bulan, kelas II membayar premi sebesar Rp. 42.500/orang/bulan dan untuk kelas I membayar premi sebesar Rp. 59.500/orang/bulan. Mungkin pembayaran premi ini tidak menjadi masalah bagi pegawai negeri atau pekerja formal lainnya, yang pembayaran premi sudah dipotong dari gaji. Ataupun oleh masyarakat yang menjadi Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang mana premi sudah disubsidi oleh pemerintah. Bagaimana dengan rakyat tidak mampu yang tidak terdaftar menjadi PBI? Apakah premi yang telah ditetapkan tersebut sudah manusiawi?
Sebenarnya tulisan ini terinspirasi dari obrolan penulis dengan Ibu ketika penulis pulang liburan semester lalu. Berdasarkan cerita yang penulis dapat dari Ibu, di kampung halaman penulis masih ada beberapa orang yang tidak mendaftar menjadi anggota BPJS. Ketika ditanya alasannya, ternyata karena mereka menganggap premi yang harus dibayar setiap bulannya tergolong mahal dengan tingkat ekonomi mereka. Salah satu keluarga yang tidak mendaftar BPJS tersebut tergolong keluarga yang tidak mampu, yang mana istrinya hanya ibu rumah tangga dan suaminya hanya kerja serabutan, ditambah lagi mereka mempunyai 5 orang anak karena tidak ikut program KB. Kalaupun mereka mendaftar BPJS dan mengambil kelas III, itu berati mereka harus membayar total premi sebesar Rp.175.000 setiap bulan. Nominal tersebut dianggap mahal dengan pendapatan mereka yang tidak menentu jumlahnya setiap bulan, tentu ini menyulitkan mereka. Bagi masyarakat yang bernasib sama seperti contoh keluarga tersebut, tentu premi BPJS dianggap jauh lebih mahal dibandingkan dengan JPKM dulu, yang mana kalau tidak salah ingat masyarakat hanya membayar Rp. 15.000/keluarga/bulan. Dengan iuran yang cuma lima belas ribu rupiah, masih ada saja masyarakat yang menunggak membayar iuran JPKM, apakabar dengan premi BPJS yang jauh lebih mahal? Masih untung JPKM, meskipun menunggak tidak dikenakan denda, berbeda dengan BPJS yang memiliki kebijakan denda jika premi tidak dibayarkan sampai jangka waktu tempo. Buntung
double sih ini namanya!
KEMBALI KE ARTIKEL