Selain kedua buku itu, Marjane juga menulis "Embroideries" (2005), "Chicken with Plum" (2006), "Monster are Afraid to The Moon" (2006) dan sebagainya. Dari sekian banyak buku yang dibuatnya, "Persepolis I" dan "Persepolis II" yang paling banyak menyita perhatian pembaca dan paling banyak dibicarakan. Hal ini terbukti dengan tingginya angka penjualan dan banyaknya ulasan mengenai kedua buku itu. Karena itu, tulisan ini lebih banyak mengidentikkan Marjane Satrapi dengan "Persepolis I" maupun "Persepolis II".
Latar Belakang Hidup
Marjane Satrapi lahir pada tahun 1969 di Rasht, Iran. Ia tumbuh dewasa di Teheran dan mendapatkan pendidikan di Lycee Francais. Saat berusia 14 tahun, Marjane diberangkatkan ke Vienna oleh orang tuanya. Marjane tetap tinggal di Austria selama sekolah menengah atas. Namun, ia kembali ke Iran untuk kuliah. Saat kuliah, ia bertemu dan menikahi seorang pria bernama Reza. Setelah pasangan itu bercerai, Marjane pindah ke Perancis dan menetap di situ sampai sekarang.
Sebagai anak tunggal dari orang tua penganut Marxisme dan cicit perempuan dari salah satu raja Iran terakhir, masa kecil Marjane terjalin bersama dengan sejarah negaranya. Ia mengaku sebagai anak yang cerdas. Kecerdasannya ini juga didukung oleh orang tuanya yang berpikiran terbuka dan memang ingin menjadikannya seorang intelektual di masa depan.
Segala sesuatu di rumah dipersiapkan untuk tujuan itu. Ia dapat memperoleh semua buku yang ia inginkan. Karena itu, Marjane menganggap kedua orang tuanya telah memberikan satu hal yang terpenting, yaitu kebebasan berpikir dan mengambil keputusan bagi diri sendiri.
Latar belakang Persepolis
Marjane tinggal di Iran selama kejatuhan Shah, awal rezim Ayatollah Khomeini dan pada awal Perang Iran-Iraq (1980-1988). Saat itu, rezim Iran banyak menekan para seniman dan intelektual. Pada tahun 1983, orang tua Satrapi mengirimnya ke Vienna untuk mengikuti sekolah tingkat atas.
Saat datang ke Perancis tahun 1994, Marjane selalu menceritakan tentang kehidupan di Iran pada teman-temannya. Namun, ceritanya nampak berbeda dengan apa yang diberitakan televisi. Ia sering harus berkata, “Tidak, hal itu tidak terjadi (di Iran).” Hal inilah yang membuat teman-temannya mendorong Marjane untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Ia juga mengaku terinspirasi oleh seorang penulis Italia – yang tidak bisa ia ingat namanya – untuk melakukan sesuatu (bagi Iran).
Proses Pembuatan Karya
Bagi Marjane, seorang penulis harus tahu apa yang ingin disampaikan dan mencari cara terbaik untuk mengatakannya. Ia sendiri memilih bercerita melalui novel grafis daripada prosa. Itulah caranya mengekspresikan diri, karena menurut Marjane gambar bisa lebih banyak “bicara” daripada tulisan. Lagipula, terdapat kesamaan persepsi mengenai ekspresi tertentu dalam berbagai kebudayaan dunia. Misalnya, gambar seorang yang menangis tidak akan dianggap sebagai ekspresi rasa senang oleh suatu kebudayaan.
Selain itu, gambar juga bisa lebih mudah diterima. Orang tidak akan menganggapnya terlalu serius, sehingga Marjane sebagai penulis bisa dengan lebih mudah menambahkan humor pada karya-karyanya. Baginya, humor merupakan senjata paling subversif dan memiliki bagian yang besar dalam budaya Persia. Dan karena ia bukan seorang yang terlalu serius, tertawa merupakan caranya bertahan hidup setelah melalui revolusi dan perang.
Meski dikenal sebagai novelis grafis, Marjane mengaku bukan seorang pembaca komik. Karena, membaca komik bukan bagian dari budaya Iran. Meskipun terdapat ilustrasi dan komik pendek (comic strips), tidak pernah ada sebuah buku yang sepenuhnya berisi komik.
Pilihan Marjane untuk berkreasi melalui medium novel grafis sebenarnya berawal dari sebuah ketidasengajaan. Saat ia datang ke Paris, kebetulan ia bertemu sepasang seniman di suatu studio. Ternyata, semua orang di sana adalah kartunis. Lalu, mereka pun membicarakan komik dan mendorongnya untuk membuat kartun.
Awalnya, ia sempat mengalami kesulitan untuk membuat komik. Ia merasa tidak cukup sabar menunggu proses pembuatan sebuah buku, karena menurut teman-temannya membuat komik membutuhkan prosedur yang cukup panjang dan rumit. Namun, ia juga selalu memikirkan gambar (image) dan tulisan. Baginya, berpikir dengan membayangkan gambar-gambar adalah sesuatu yang normal.
Lama-kelamaan, ia semakin memahami arti komik. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa komik merupakan medium yang paling tepat baginya karena ia suka menulis dan menggambar. Pada saat membuat halaman pertama novel grafisnya, ia tahu bahwa itulah yang harus dilakukannya.
Makna Berkarya bagi Marjane Satrapi
Dalam menulis, salah satu parameter yang digunakannya adalah bagaimana caranya bercerita dengan suatu cara agar orang lain dapat mengerti suatu topik. Karena menurutnya, ia tidak ingin menulis sebuah buku yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri.
Novel grafis hasil karyanya merupakan suatu seruan: “Mari masuk, saya akan menjelaskan tentang suatu hal.” Dan baginya, novel grafis membuatnya bisa berbicara tanpa diinterupsi dan bercerita dalam versinya sendiri mengenai apa yang sebenarnya terjadi (di Iran). Tujuannya adalah agar orang-orang di negara yang berbeda dengannya tahu bahwa Marjane dibesarkan seperti banyak anak lainnya. Dengan kata lain, ia berharap agar orang yang membaca bukunya akan mendapatkan sudut pandang yang berbeda dari pemberitaan di media.
Marjane mengakui bahwa bila ia tidak mengenal orang dari negara lain, ia akan beranggapan bahwa semua orang itu jahat hanya dengan mendengar berita. Hal itu tidak terjadi padanya karena ia berpikiran terbuka dan mengenal banyak orang dari berbagai negara. Karena itu, Marjane beranggapan bahwa seseorang sebaiknya mengenal cara hidup di negara lain, sehingga ia tidak lagi menganggap buruk suatu negara atau suatu masyarakat.
Ia juga merasa senang apabila novel grafisnya dapat menumbuhkan ketertarikan bagi orang-orang yang belum pernah membaca grafis. Hal itulah yang terjadi di penandatanganan bukunya. Selebihnya, ia merasa sukses apabila bukunya memang bisa membuka mata banyak orang agar tidak selalu percaya pada apa yang mereka dengar.
Hal yang Ingin Dibicarakan Marjane Satrapi – Tanpa Diinterupsi
Menurut Satrapi, Revolusi Iran tahan 1979 merupakan revolusi yang normal dan harus terjadi. Namun, ia menyayangkan kenyataan bahwa revolusi tersebut terjadi di suatu negara di mana masyarakatnya sangat tradisional dan bahwa negara-negara lain hanya melihat reaksi para fanatis agama. Karena itulah, Marjane berusaha memperlihatkan pada para pembaca novel grafisnya bahwa reaksi itu bukanlah keseluruhan cerita mengenai Iran, rakyat Iran tidak semenakutkan yang diceritakan (di media internasional) dan mereka bukan “poros setan”.
Ia merasa tugasnya sangat berat, sehingga ia sangat terkejut apabila bukunya mendapat tanggapan hangat dari Amerika Serikat (AS). Hal itu kontras dengan apa yang ia dengar dari berita mengenai kebijakan Amerika (AS) yang sedang memerangi teroris dan menganggap Iran sebagai kawan Al Qaida – salah satu teroris paling diburu AS. Padahal menurut Marjane, Al Qaida adalah kelompok Sunni sedangkan Iran dipimpin oleh pemerintahan Syiite.
Ternyata, masyarakat sangat ingin tahu dan mereka ingin belajar mengerti. Marjane pun berharap bila satu hari nanti terjadi ledakan bom, masyarakat akan memikirkan dua pertanyaan berikut: "Siapa yang kita takutkan? Siapa yang disebut sebagai “poros setan” bukankah mereka juga manusia seperti kita?”
Catatan:
Tulisan di sebuah kelas menulis. Bahan tulisan didapat dari berbagai sumber.