"Yes darling, I'm on my way... No! You definitely not coming now! Kita kan nggak boleh ketemuan dulu!! Aku bukan percaya takhyul, cuma yah... Oke, aku tenang, makanya kamu jangan bikin panik dong! Mind your own business, okay. We'll be together forever anyway... Period! Kalo gue nggak tiba-tiba berubah pikiran!" Klik, sambungan telepon terputus. Kuputus lebih tepatnya, sehingga si penelepon tidak akan mendengar kalimat terakhir yang kuucapkan. Damn, aku kembali kesulitan mencari alasan mengapa aku mengiyakan ajakan pria tolol ini beberapa bulan lalu. Oh ya, mungkin cincin yang ia sodorkan terlalu menyilaukan sampai aku mengalami amnesia ringan.
08:13 am
"Darling, liat sini dong... Angkat sedikit mukanya..." kata Ponce, make-up artist-ku, kenes.
Terpaksa kualihkan pandangan dari buku catatan kecil yang sedari tadi kupandangi. "Aku nggak mau ada kesalahan, ya Ce. Flawless. Period," jawabku datar.
Sempat kulirik keringat yang menetes di kening Ponce, padahal kami ada di ruangan ber-AC. Dia tentu tak ingin melihatku "mengeoceh" seperti pada make-up test minggu lalu.
"Itu surat cinta dari si ganteng yah, darling? Aduh, romantis banget sih kalian...," ucap Ponce lagi karena melihatku sesekali melirik selembar kertas di tengah buku catatanku. Aku cukup memberikan sekilas lirikan tajam untuk membuatnya terdiam dan tidak mengomentari setiap gerak-gerikku. Kemudian, segera kubenamkan buku itu ke dalam clutch di pangkuanku.
09:42 am
"Jeng Riska, untuk ke-3.000 kalinya gue bertanya: 'Lo yakin'?" seru Tania di ujung sambungan telepon. Teman tergilaku itu sedang menjalankan tugas PTT di pedalaman Kalimantan. Sayang memang dia tidak bisa datang ke Jakarta untuk menghadiri hari bersejarah ini, tetapi ia justru yakin tidak datang setelah kukatakan supaya ia menikmati masa lajang sepuas mungkin dan menghadiri acaraku hanya akan mengurangi kepuasan itu.
"Not really... But I like the ring and the rush of adrenalin so far," jawabku singkat.
Terdengar hembusan nafas panjang Tania sebelum ia kembali berkata, "Memang kau perempuan gila. Tapi memang lebih gila orang yang mau-maunya menggilaimu... Well, I wish you all the best dan semoga paranoid lo nggak sering kumat. Amen!"
Tadinya aku hendak tersenyum, tapi Ponce sedang berusaha memberikan shading terbaik yang bisa ia kerjakan di pipi kiriku. Aku pun memberikan nada tertawa andalanku dan menimpali seperlunya: "Ha..ha.., I will. Thanks babe... I still think you're the luckiest person on earth."
Tania menyudahi teleponnya dengan sekali lagi mengatakan bahwa aku gila. Yah, dia tidak bisa lebih benar dari hari ini.
11:45 am
"Aku ke toilet sebentar," kataku pada Alila, pendamping wanita di acara hari ini. Di toilet, kubuka clutch tempat buku catatanku. Kuambil lembaran lusuh itu dan membacanya dalam hati, meresapi setiap katanya, untuk terakhir kali.
Aku menepismu sejak pertama kita bertemu. Tepisan yang tak kusangka akan terus kubayar sampai saat ini. Saat itulah ternyata aku menyerahkan hatiku padamu. Rasanya tak mungkin untuk mencintai yang lain yang bukan dirimu. Aku benar-benar tidak ingin dan tidak bisa kehilanganmu. Aku ingin memilikimu sendiri, tanpa ada pembagian. Jadilah milikku, karena engkau telah lebih dulu memilikiku. Aku mencintaimu.
Aku mencintai senyummu. Aku mencintai matamu. Aku mencintai keanehanmu. Aku mencintai pemahamanku terhadap dirimu. Aku bahkan mencintai diriku yang mencintaimu karena aku terlalu mencintaimu. Setiap kata-kata kosong darimu dapat menjadi memori seumur hidup bagiku.
Setiap dustamu dapat menjadi madu bagi mulutku. Rasanya lebih indah dari semua kejujuran. Aku senang bila kau terus berdusta, karena itu berarti kau akan ada bagiku.
Aku ingin kita tetap bersama. Walau tanpa status yang pasti. Aku tidak memusingkan hal itu. Selama engkau menyatakan kecemburuanmu, aku akan tetap merasa terlalu beruntung untuk semua ini.
Aku tak akan mengijinkan siapapun mengambil tempatmu. Tahukah engkau betapa berartinya setiap huruf yang meluncur dari mulutmu bagiku? Bahkan setiap kata yang kau tuliskan bagiku adalah lebih indah dari karangan seribu pujangga dunia.
Kini, maukah engkau tahu tentang harapanku? Yaitu agar engkau mengatakan bahwa hatimu telah tertawan sejak pertama kita bertemu. Bahkan jauh sebelum mengenalku, aku adalah obsesi terdalammu. Dan setelah mengenalku tak satu malam pun yang kau lewati tanpa memimpikanku.
Engkau bahkan mencintaiku lebih dari aku mencintaimu. Setiap kejatuhanmu adalah jalan untuk aku semakin mengenal dan memahamimu.
Aku selalu belajar cara baru untuk menghadapimu. Dan engkau selalu tahu bagaimana cara mendapatkan senyumku. Setiap kali kita beradu pandang, kita saling bertukar kata bahwa kita saling lebih menginginkan satu sama lain...
Aku teringat pria yang menuliskan surat itu bersamaku. Kami duduk berhadapan sambil bergantian menuliskan kalimat demi kalimat. Surat itu diakhiri dengan inisial nama kami: R.A. untukku dan N.J. untuknya.
"Damn all the memories! No more tears...," ucapku lirih sambil membuat surat itu menjadi serpihan kecil yang segera tergenang di air toilet. Serpihan itu segera hilang setelah aku menekan tombol air pembersih.
01.00 pm
Aku berdiri di hadapan karangan bunga besar bertuliskan: "Congratulation on Your Wedding Day" for Riskana Asyera & Kevin Aria. Dapat kulihat inisial N.J. yang kuyakini sebagai si pengirim di bagian bawah karangan bunga.
"Bodoh...," bisikku. Tentu si pengirim sedang menjelajahi dunia, entah saat ini di belahan mana. Kami pernah begitu, terlalu, amat sangat saling mencintai, sampai ia berkata: "Kita terlalu sama dalam banyak hal. Akan ada banyak benturan... dan aku tidak percaya pada komitmen untuk saling mencintai satu orang seumur hidup. Maaf Na, I love you so much, but I love being just with myself even more." Setelah itu, masih kudengar penggalan kisah petualangannya ke berbagai negara, selain petualangan cintanya.
Sejak kepergiannya, semua terasa tawar. Tidak ada lagi rasa tersisa, karena telah sepenuhnya kuarahkan padanya. Aku hanya memikirkan untung-rugi setiap kali mengambil keputusan, termasuk saat Kevin menyodorkan cincin padaku dan bertanya: "Will you marry me?"
Yah, ukuran berlian di cincin itu cukup besar, mobil yang dikendarai Kevin cukup mewah, rumah yang akan kami tempati setelah menikah cukup luas, keluarga Kevin cukup berada... Semua cukup... menguntungkan bagiku. Maka, tak heran aku pun menganggukkan kepala sambil berkata, "Yes, I do. Btw, syarat surat perjanjian pra-nikah aku yang ngatur ya, darling..." Aku tahu kecintaan Kevin terhadapku lebih besar daripada kebingungannya menanggapi jawaban [ngawur] itu.
Dan tibalah aku di hari ini. Hari di mana aku dan Kevin akan mengikrarkan janji sehidup semati. Yah..., kita lihat saja, sejauh mana keuntungan yang bisa hatiku dapatkan dari hubungan ini.