Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Artikel Utama

Lulabi Sang Sultan

14 April 2015   22:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:06 31 1
Terang telah datang. Di batas pandang, tak ada lagi hijau menyelimuti. Inilah pertanda itu. Kabarkan pada semua. Tiap jengkal tanah kita tergerus, semakin pendek langkah kita dan maut segera menyambut. Cepat, bukan lambat! Aku ingat benar kerimbunan ini. Dedaunan, dahan yang saling rangkul setia. Kerapatan kanopinya kadang memaksa sinar matahari mencuri-curi celah untuk menembus memberi terang. Pokok kokoh menjulang seolah memata-matai siapa saja yang hendak merobohkan dan mengabukannya. Pokok tempat bernaung para primata. Bergelayut kemasyuk tanpa takut. Tak jarang pula kawanan lebah bersarang. Sementara beruang yang kadang terlihat lugu, menunggu madu sialang jatuh. Semak, dedaunan yang layu gugur, lebur lalu menjadi hara. Penolong bagi semak lainnya untuk terus tumbuh. Kami menjejak di atas permadani semak. Berjalan di dedaunan yang telah menerima titahNya untuk gugur. Menyantap makanan yang telah tersaji atau unjuk taji lebih dulu. Ataupun merajai mereka yang lemah hingga kelabak. Mata air memancarkan pembasah bening yang meliuk dan menderas dalam cawan raksasa. Di sana kami berbasah manja atau sekadar melepas dahaga. Dari hulu yang tinggi, hijau menjaga jernihnya. Semua itu adalah petak dan jengkal eksistensi kami. Kerimbunan ini sudah kudapati begitu aku menetek pada ibu. Hingga akhirnya aku tersadar, ada yang salah dengan belantara ini. Entah kapan itu bermula. Aku tak tahu kecuali gamang dan gegar olehnya. Itu adalah pada suatu siang yang gerah. Kami mendapati pekat. Udara yang kami hirup beraroma tak biasa. Perih di mata, menusuk hidung. Asap. Embusan pawana tak lekas membuatnya jauh beringsut. Nafasku sesak! "Jadi inilah yang menyamarkan pandangan kami hingga tak lagi awas." Aku membatin. Kami riuh dibuatnya. Orangutan bersahut-sahutan panik. Burung-burung kulihat lebih dulu menjauh. Kami semua penghuni hutan ini memilih eksodus. Entah kali keberapa aku tersua perasaan ini. Hingga baru tadi instingku menyalakan mawas diri dan amarah. Pagi yang mulai menuju siang, ketika embun tak lagi mengecup kuncup apikal. “Mari kita ke atas.” Ajakkan yang sesungguhnya adalah perintah kepada anak-anakku. Mereka pun ikut. Atas yang aku maksud adalah bukit rimbun tempat tertinggi di belantara ini. Hutan ini bila disusuri akan bertemu dengan Bukit Barisan yang memanjang mengiris Pulau Sumatera. Dari sini, kami dapat melihat hamparan hijau yang di atasnya diterbangi burung-burung elok. Tiba di puncak bukit, rupanya sejumlah saudaraku lebih dulu ada di sana. Mereka terdiam seraya menatap kosong ke arah timur. Aku layangkan mata ke sana. Lalu nanar yang kudapati. [caption id="" align="aligncenter" width="276" caption="sumber foto greenpeace.org"][/caption] Auuuum. Auuuuuuuum. Aku mengaum. Pada aumanku yang kedua volume suaraku aku keraskan dan lebih panjang. Di bangsa kami, harimau, auman keras lagi panjang adalah ekspresi amarah. Auman ini sekaligus menunjukkan eksistensi kami di hutan ini, bahwa kami adalah raja hutan. Sebagaimana hukum rimba yang berlaku, pemenang adalah yang kuat. Dan itulah kami. Tapi, apa yang kami dapati ini menjungkirbalikkan kegagahan itu. Kami memang kuat, tapi kami tak berdaya ketika berhadapan dengan sesuatu akibat ulah manusia. Ulah tangan-tangan rakus yang hanya peduli dengan perutnya mengancam kami. Mereka abai terhadap kelestarian hutan dan para penghuninya. Inilah realitas yang kami hadapi sekarang, hutan kami tak lagi rimbun. Hutan terus digunduli dan bersalin rupa menjadi perkebunan. “Kita harus melawan. Tak pernah kita mengganggu mereka, kini bila mereka memporak-porandakan rumah ini. Mangsa!!!” “Auummm….,” Suara kami membahana. Begitulah kredo siang itu. Menancap kuat pada naluri liar kami. Menyebar sebagaimana asap ini menyesaki tiap jengkal rumah kami. *** Rupanya mata ibu bisa juga basah oleh air mata. Kendati bening itu menetes amat perlahan, aku yang mencari kehangatan di dekapannya mendapati itu. Kematian ayah akibat terkena jerat buatan manusia adalah momen buruk pertama yang membuat ibu menangis. Dan kini, adalah yang kedua. Lagi-lagi tangis ibu tersebab kerakusan ras yang disebut-sebut cerdas itu. Padahal mereka lemah. Lihat saja ketika mereka terlahir. Bayi-bayi mereka selalu tergantung pada ibunya dan orang lain. “Ras yang aneh,” aku membatin. “Cerdas tapi lemah” Harusnya mereka melihat kami. Kami mandiri begitu terlahir dan menjejak bumi. Tak perlu bantuan siapapun dan apapun. Kecuali, ibu tempat kami menetek susu. Sementara ibu larut dengan sedihnya, aku kembali mengingat-ingat kisah yang sering dituturkan ibu. Itu adalah kisah masa lalu. Masa romantisme kami dengan ras manusia. Dan kami bangga dengannya. Cerita itu selalu diwarisi turun-temurun. Kami masih memegang teguh pesan yang disampaikan masa lalu itu sampai manusia menjadi pengkhianat atas persaudaraan ini. “Kita memang raja hutan. Hutan inilah rumah kita. Tapi ingat, di sini kita tidak sendirian,” begitu ibu memulai ceritanya sehari setelah ayah memulai kisah barunya karena terperangkap jerat. Dari ibu aku tahu bahwa ada manusia yang juga berumah di hutan. Beranakpinak di belantara, mencari makan di kerimbunannya sebagaimana kami. “Mereka adalah suku terasing, Suku Anak Dalam. Kelak bila kalian mendapati mereka, jangan pernah kalian ganggu! Menyingkir adalah yang terbaik. Mereka pun tak akan mengganggu kita. Ingat Suku Anak Dalam juga penjaga hijaunya rumah kita.” Detil ibu berpesan. Ibu melanjutkan. “Pada masa ketika perang terjadi di sini. Kita punya andil. Sultah Thaha tetua dari negeri ini telah menjadikan kita sahabat. Buyut-buyutmu setia bersamanya. Menemani sultan keluar masuk hutan,” cerita Ibu. “Bersahabat Bu?” aku ajukan tanya. Cerita itu belum bisa kucerna. “Ya. Bahkan buyut-buyut kalian menjadi tunggangan bagi sultan layaknya kuda ditunggangi untuk berperang.” Dulu ternyata hutan juga dijadikan persembunyian manusia dari kejaran manusia lain. Menurut Ibu, para pengejar itu adalah penjajah Belanda yang menjadi penindas bagi manusia di bumi Melayu. Sultan yang diikuti pengawal setia dan masyarakat menolak tawaran Belanda untuk berunding. Menjadikan hutan basis pertahanan sekaligus mengatur strategi. “Ibu tak tahu apakah cerita ini juga masih terpelihara oleh manusia. Mungkin mereka lupa. Karena bila mereka paham sejarah itu, harusnya hutan ini tidak dibabat, kita tak dijerat, diburu dan dibunuh.” Nada suara ibu mulai meninggi. Aku paham kredo siang tadi meghapus persaudaraan itu! *** Airnya berwarna hitam. Mengalir perlahan di parit sedalam dada orang dewasa dengan dimensi lebar tiga meter. Aku berada di sisi barat kanal yang menyedot air dari anak Sungai Batanghari tersebut. Di sisi tempat ku melihat dan di seberang bagian timur kondisinya nyaris sama. Untuk radius beberapa ratus meter, tak ada pokok menjejak ke bumi untuk kemudian pucuknya menjulang menggapai langit. Nyaris datar. Perdu dan semak menutupi sisa pohon tumbang yang di antaranya tak sedikit telah menghitam menjadi arang. Sekitar tigapuluh orang bakal menyisir sisi timur yang berbatasan langsung dengan hutan. Di tangan mereka tergenggam senjata. Tombak, senapan, parang panjang. Belum lepas tegangku dari suasana itu, suara klik dari tetikus yang dipencet justru menambah ketegangangku. Kali ini bukan cuma tegang. Aku menganga. Apa yang dilihat oleh mataku mendorong isi perutku naik dan meminta keluar dari mulut. Klik. Tetikus kembali dipencet. Tampil gambar lain yang melegakan, menormalkan tekanan dalam perut sehingga isinya tak jadi tumpah. “Tadi itu potongan tubuh. Harimau telah memakannya, saat korban membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit atau mungkin mereka adalah perambah.” Suara Azman menjelaskan gambar di komputer jinjingnya yang ia perlihatkan padaku. Itu beserta gambar puluhan orang tadi, adalah dokumentasi saat masyarakat bersama petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jambi mengevakuasi jenazah tak utuh yang dikenali sebagai Harun. Harun hanya orang suruhan dari mata rantai perambahan hutan. “Ini adalah korban ketujuh dalam dua bulan terakhir,” Azman yang petugas BKSDA menjelaskan. “Salma.” Azman menyebut nama harimau Sumatera yang ditangkap kemarin sore. Ia memperlihatkan foto harimau malang itu dari Blackberrynya. Salma harimau berusia satu tahun setengah itu masuk perangkap yang di dalamnya diikatkan seeokor anak kambing sebagai umpan. Perangkap itu dipasang seolah bentuk serangan balasan dari kami,manusia atas serangan harimau yang sudah menewaskan tujuh orang. Salma kini dalam perjalanan dari hutan untuk dibawa ke Kebun Binatang Taman Rimba di Kota Jambi. Aku dan Azman sudah lama bermitra. Sebagai pegiat LSM yang konsen terhadap kelestarian hutan dan harimau, aku menjalin komunikasi dengan BKSDA terlebih ketika ada konflik antara hewan dan manusia seperti sekarang. Kandang besi itu terlalu kokoh untuk sosok yang di kampung-kampung dipanggil dengan sebutan datuk, inyak atau sebutan lainnnya. Tubuh Salma berbaring di sudut. Begitu perangkap itu digotong untuk diturunkan dari mobil, ia terjaga. Matanya menyigi nyaris 360 derajat. Masih terlihat ia sosok harimau muda yang liar. Di sore yang teduh itu, Salma memulai babak barunya. Rumahnya bukan lagi hutan. Kerangkeng akan jadi rumah barunya. Ia tak bisa lagi bebas berlarian sebagaimana di hutan sebagaimana pastinya ia tak bisa lagi bertemu ibu yang melahirkannya. Kecuali, ada keajaiban menyapa. Konflik yang berpangkal dari luasan hutan yang dirambah membuatnya tercerai berai dengan habitat dan kehidupan asalnya. “Segera ke Taman Rimba! Salma sekarat.” Suara Azman keluar dari handphone memintaku bergegas. Aku yang mengiyakan di mulut nyatanya kalut. Aku hanya mematung melihat foto Salma yang kujadikan wallpaper komputer di kamar ku. Tep… Listrik padam yang membuat kamarku gelap segera menyadarkanku untuk bergegas. “Tuhan, biarkan Salma hidup,” aku berdoa dalam hati. Kematian Salma si harimau betina adalah petaka bagi kelestarian harimau sumatera. Populasinya yang hanya tinggal sekira 500 ekor lagi adalah ancaman bagi upaya konservasi karnivora ini. *** Aku teringat ibu juga ayah. Yang aku tahu sekarang adalah, aku akan segera menyusul ayah. Mati. Bermula dari jerat dan perangkap, lantas ajal setelahnya. Nafasku sudah setengah-setengah. Aku tak lagi garang, lunglai merajai tubuhku. Tak berdaya. Aku dibaringkan oleh manusia yang terlihat ramah ini di meja. Ada sesuatu yang menusuk kaki depanku. Perih. Lamat-lamat aku mendengar percakapan di antara mereka. Mereka lebih tahu dari aku, bahwa aku akan mati. Itu yang kudengar dari sosok berbaju putih yang tadi membuat perih sesaat di kakiku. “Sulit. Umurnya tak lama lagi,” ujar sosok berbaju putih. “Tidak ada pilihan. Mau tak mau Salma nanti harus diofset.” Aku masih mendengar. Aku makin lemah. Pandanganku kabur. Nyawaku tinggal bilangan menit. Di menit-menit terakhir yang hadir justru lulabi dari ibu semasa di hutan. “Ofsetnya nanti kita sandingkan di samping patung Sultan Thaha sebagaimana yang ada di museum, Sultan dengan dua ekor harimau sumatera.” Terdengar suara memberi saran yang disambut tanya suara lainnya. “Memang ada apa diletakkan di dekat patung Sultan Thaha?” “Tetua kita membagi cerita bahwa Sultan Thaha dalam perjuangannya memiliki harimau yang jadi tunggangannya. Benar atau tidak, toh sekarang banyak pawang yang mampu menjinakkan harimau. Apapun itu, semuanya mengajarkan bahwa persahabatan itu mengingatkan agar kita manusia, bisa menjaga hutan. Bukan hanya buat anak cucu kita, tapi juga untuk mereka, harimau.” Itu yang terakhir kudengar. “Ibu, sultan itu ada di sini, ia terlahir kembali.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun