Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Inses

4 Maret 2012   18:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:30 875 1
Aku  memacu motorku dengan kecepatan 100  kilometer per jam. Itu bukan kebiasaanku, sekalipun tengah terburu-buru.  Jarak tempuh lokasi liputan yang lumayan jauh membuatku mau tak mau harus memacu kendaaraan  sengebut-ngebutnya.

Telat tiba di tujuan, sia-sia. Letih itu risiko, tapi gagal mengumpulkan fakta dosa tak termaafkan. Alih-alih mendapat berita boleh jadi makian yang akan aku terima dari bos ku di kantor. Uf..bila sudah begitu, kadang aku tertular ikut memaki, mengumpat walaupun di dalam hati.

Sebab, keberhasilan menjalankan tugas adalah berhasil membuat berita seperti angle yang diminta. Tiba pun kita di lokasi dengan air mata darah dan keringat mengucur bila berita tak ada, hapuslah semua usaha itu. Itu sama saja tak kerja. Aku sering sebal dengan mindset yang hanya berorientasi pada hasil. Tidak peduli pada proses. Padahal  harusnya proses dan hasil dilihat secara proporsional.

Kota Jambi-Kabupaten Batanghari  biasa ditempuh dalam waktu satu jam.  Dan ternyata perjalananku memakan waktu lebih dari itu. Satu jam setengah lebih. Itu belum termasuk waktu hingga tiba di lokasi liputan.

Walau Batanghari merupakan kabupaten yang berbatasan langsung dengan Kota Jambi tapi ini adalah kali pertama  aku menginjakkan kaki di sana. Selama ini aku hanya mendaratkan pandangan saja saat melintas ketika aku pergi ke Padang atau pulang dari negerinya Malin Kundang tersebut.

Pengetahuanku tentang daerah-daerah di tanah kelahiranku minim.  Merantau  sejak usiaku masih 15 tahun selepas menamatkan SMP, itu semakin mengentalkan kecintaanku terhadap kampong halaman sendiri tanpa tahu banyak budayanya, social  budaya hingga sosiografi. Demikian halnya dengan  tempat yang baru aku datangi ini.

Nama desa itu Desa Sridadi, Kecamatan Muara Bulian.   Secara administratif memang berada di kecamatan  yang jadi ibukota Kabupaten  Batanghari, tapi akses menuju kesana yang beraspal rusak dan jalan tanah membuat kita bertanya, dimana pemerintah dan apa kerja mereka.

Dini hari tadi, kordinator liputan mengirimiku tugas lewat dua potong pesan pendek. Ah, pesan pendek yang isinya sangat panjang.

“Pagi ini k Desa Sridadi d Batanghari. Temui pak RT 38 Joko,  ada kasus inses dan pembunuhan. Pelaku orang yg sama, 16 th, Somad. Info dr pak RT. Somad berhubungan dg ibunya dan membunuh bapak. “  isi pesan pertama.

“Konfirmasi keluarga korbann pelaku jangn lupa dr polisi. Sridadi sebelum Tembesi ada simpang dgn gapura besar di kiri jalan kalau dr jambi. Slamt bekerja smg sukses.” Pesan kedua yang sedikit terasa berbasa-basi dengan ucapan selamat bekerja dan sukses.

Aku membaca pesan pendek itu saat terjaga oleh azan subuh.  Untuk beberapa jenak aku mengabaikannya. Kesadaranku belum utuh. SMS itu baru mengusik saat aku di rakaat kedua. Aku tak khusyuk.

Melalui tugas ini, sepertinya si bos sedang mengujiku.Ia ingin melihat kemamapuanku, seberapa tangguh aku ditengah keterbatasan pemahaman akan medan tempur .  Tapi  ada rasa kesal menghampiri. Perintah yang haram ditimpali dengan  kalimat negatif alias penolakan itu hanya disampaikan melalui dua pesan yang menghabiskan Rp 300 rupiah. Tak lebih!.

“apa sih susahnya menelpon. Orang buta sama sekali dengan lokasi,mana jauh. Huu, dasar bos bos,” aku menggerutu sendiri.  Sembari meminyaki rambutku yang pendek aku mengingatkan diri sendiri, “Makanya lu Yud kalo udah jadi bos ntar, jangan sak karepe dewe. Tau? Pikirin ntuh anak buah.”  Toh akhirnya Monolog di depan cermin itu menyemangati pagi ku.

Ditengah perjalanan aku terhenti. Aku merasa ada yang kurang. Ya, nomor telepon Pak RT belum kuminta. “Sial, telepon dan SMS ku tak dijawab. Argghh…apa sih susahnya mengirimi nomor handphone nara sumber.”Gerutu keduaku di hari Senin itu pecah.

Tanaman karet sangat dominan di Desa Sridadi.  Rumah-rumah warga nyaris menyatu dengan tanaman yang disadap itu. Rumah di sana jarang-jarang. Antara satu rumah dengan rumah lain setidaknya berjarak 25 meter hingga 50 meter. Akhirnya aku tiba di rumah panggung yang lebih bagus dari rumah sekitar yang kulewati sebelumnya. Sejumlah sepeda motor terparkir di halaman rumah, sementara di teras rumah panggung beberapa pria terlibat perbincangan seru.

“Assalamualaikum,” ucapku memberi salam.

Koor serentak keluar dari mulut mereka. Seorang pria paruh baya mengenakan peci hitam segera saja menuruni tangga. Sepertinya dari tadi ia tengah menanti sesuatu.

“Bang Yudi ya? Saya Joko, Pak RT,” langsung saja ia memberondongi sementara aku belum menjawab tanyanya,kecuali dengan anggukan kepala.

*

Aku terhenyak begitu mendapati potret buram keluarga Sumini, ibu dari Somad. Keduanya telah melakukan hubungan layaknya suami istri, padahal mereka sedarah daging. Inses. Aku tak tahu siapa yang menodai dan siapa yang dinodai.

Sumini,ibu Somad bersuamikan Ritas, duda dengan tiga anak. Sumini mengakhiri masa jandanya sejak  satu tahun lalu. Somad adalah anak satu-satunya.  Wanita berkulit cokelat itu aku temui di kantor polisi setempat. Ia tengah dimintai keterangan.  Di sana ada pula Somad yang mendekam di balik jeruji.

Ada dua lajur tipis nan samar di wajah itu. Garis tak lurus yang berhulu di mata dan bermuara di pipi. Siapapun tahu bahwa itu adalah bekas air mata yang sedari tadi mengalir di mata Sumini. Peluh berpadu debu membuat wajah itu tampak kumal.

“Saya prihatin, cerita hidupnya penuh dengan kisah kelam. Dan sssstttt…..jangan tulis nama saya, cerita Sumini selalu berurusan dengan selangkangan,” bisik Pak RT memberi penjelasan tanpa aku ajukan pertanyaan.

Aku terenyuh  mendengar rentetan cerita tentang Sumini. Terlebih ketika ia sendiri yang menuturkan lakonnya.  Benar kata Pak RT, masalah yang membelit Sumini nyaris tak lepas dari urusan selangkangan.

Beberapa kali wanita berambut panjang itu menangis saat bercerita. Ia buka semua kisah kelamnya seolah kisah itu telah lama tertahan lantaran tak ada tempat berbagi.

Menghadapi situasi begini, pengalaman mengajarkanku bahwa menulis di atas lembaran kertas adalah bukan cara tepat lagi bijak. Mencatat keterangan narasumber memang mutlak agar informasi yang disampaikan tak salah. Namun, mencatat di atas kertas bukanlah cara satu-satunya.

Dus, jadilah aku merekam  drama getir itu dalam ingatan. Kecuali sesekali aku mencuri mencatat dengan pura-pura mengetik SMS.

Menjadi korban  pencabulan ketika berusia belasan, Sumini lantas meninggalkan desanya untuk menghindari malu. Ia ikut tetangganya dengan harapan memiliki rupiah sendiri yang bisa ia kirimkan ke orangtuanya. Klasik. Tapi itulah drama Sumini yang akhirnya terjebak di mulut buaya.

Tetangganya yang ia kira menjadi dewi penolong mempekerjakanya di warung remang-remang di jalan lintas sumatera.  Dan tak semua  orang yang hidup di jalanan adalah pria yang suka jajan atau hidung belang. Sumini remaja diselamatkan sopir yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya.  Kelak, mereka menikah dan melahirkan Somad.

“Hidup saya mulai kembali hitam selepas ayah Somad berpulang karena kecelakaan. Somad tak merestui saya menikah dengan ayah tirinya. Hubungan kami tak akur.  Saya dengan ayah tiri Somad, termasuk saya dengan Somad, sampai tiba malam jahanam itu. Entah bagaimana  dan siapa yang memulainya.” Sumini terisak dan menghentikan ceritanya.

“Karena kepergok oleh  orangtua tirinya, akhirnya mereka berkelahi. Selanjutnya Ritas tewas diduga karena pukulan keras di dada. Kita masih menunggu hasil otopsi dari rumah sakit,” ujar Kapolsek Muara Bulian AKP Suryadi saat ku konfirmasi mengenai peristiwa langka itu.

*sudah lebih dulu dipublish di rachmawan.wordpress.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun