Bisikmu sesaat setelah kuceritakan mimpi di malam yang padanya hujan mengguyur.
Aku terdiam lama sebelum kupindahkan bunga tidur itu ke otakmu untuk kau cerna. Sementara, kau asyik terlelep dalam selimut yang mungkin juga menghadiahimu mimpi jauh lebih indah.
Kini giliran aku yang menembakimu dengan aksara tanya. Menghujanimu dengan dalil yang bagimu kukutip dan kutemalikan secara serampangan.
Ini sudah kali kesekian. Saking sering, aku tak tahu ini mimpi sama yang keberapa.
Tuhan pasti berkehendak sesuatu. Mana mungkin ia memberiku mimpi yang berulang. Tidurku seperti vcd player yang memutar keping cakram digital yang sama. Selalu begitu.
“Lalu apa mau mu dengan mimpi itu? Mau apa sesudahnya?” tanyamu.
Seharusnya itu adalah pertanyaanku. Akulah yang dalam posisi mencari jawab, dan engkau harusnya membantu kejumudan atas tafsir yang belum kita temukan itu.
Hujan sudah meninggalkan derasnya. Hanya rintik yang kini tersisa, melengkapi tanah-tanah agar semakin basah. Sialnya hujan kata-kata di antara kita tak jua memberi kesejukan. Aku masih saja dibebani tanya atas mimpi ku itu. Tak kunjung mendapati terjemah kekinian dari bunga tidur yang bagiku aneh dan mengerikan.
Mendadak kamar tidur ku benderang. Harum menyeruak. Aku menyesapinya tergopoh. Engkau ada di sisi pembaringanku.
“Tidurlah,” ucapmu perlahan di telinga kananku.