Lalu, mengapa pula TKI Ruyati bisa dipenggal di sana? Maka pada pemerintahan SBY lah tudingan dialamatkan. Bila tidak kepada pemerintah, lantas kepada siapa kita berkeluh kesah dan menunjukkan protes.
Indonesia lemah terhadap pemberantasan korupsi di satu sisi-tanpa menafikan hasil yang sudah ada-sementara sukses menangkapi orang-orang yang dituduh sebagai teroris di sisi lain. Sialnya mereka yang dilabeli teroris itu adalah umat Islam yang sekalipun, pemahaman mereka diyakini menyimpang.
Menyeruak dugaan asal-asalan, bahwa qisas yang dijatuhkan pada Ruyati lebih bernuansa politis ketimbang murni menjalankan hukuman. Saudi marah dengan ulah Indonesia yang jor-joran menangkapi umat Islam dan mengecapnya sebagai teroris. Teranyar, tentu saja vonis 15 tahun bagi Abu Bakar Baasyir yang jelas-jelas menegakkan kalimat tauhid. Sejalan dengan pemahaman umat Islam kebanyakan di Saudi sana.
Maka, ganjaran atas Indonesia itu dialamatkan saja pada sosok lemah tak berdaya berstatus TKW bernama Ruyati. Saudi ingin memalukan SBY yang sebelum pemenggalan itu dilakukan menyampaikan perlindungan bagi buruh migrant pada sidang ILO di Swiss. Ruyati terpenggal, SBY tertampar. Ah, itu (tentu) duga yang ngawur.
*
Pemberantasan terorisme di Indonesia mendapat kucuran dana dari asing? Australia dan Amerika punya peran di sana. Sialnya, hubungan Paman Sam dengan Saudi erat dan itu terjadi sejak puluhan tahun silam. Bahkan, Arab Saudi telah menjalin kerjasama militer rahasia dengan Washington.
Maka, biarlah kita menduga-duga sebab lainnya. Boleh jadi ada skenario besar yang sedang disusun untuk Indonesia, khususnya untuk memelorotkan citra presiden SBY yang memang merosot. Atau, grand design populer pengalihan isu. Mulai Century, Gayus, hingga Nazaruddin atau mungkin Ibu Nurpati.
Rasanya, aneh saja. Hanya selang empat hari SBY bicara di forum internasional sola buruh migrain, kok tiba-tiba datang tamparan dari Saudi. Atau mungkin ada order atau tekanan AS kepada Saudi. “Segerakan hukuman itu.” Pertanyaan sekanjutnya, untuk apa Amerika repot-repot mencampuri hukum pancung itu? Apa yang hendak disasarnya bila itu demikian adanya? Dari pada menduga-duga siapa punya skenario, baiknya kita melihat sudah sejauh mana upaya pemerintah terhadap perlindungan TKI.
*
Kronologi Ruyati bermula pada 10 Januari 2010, ketka ia membunuh majikan perempuannya bernama Khairiya binti Mijlid. Empat bulan kemudian ia diadili untuk kali pertama dan terancam hukuman qisas.
Hampir setahun kemudian, Maret 2011, Migrant Care mengingatkan sejumlah TKI terancam hukuman mati di Arab Saudi, termasuk Ruyati. Lalu, April 2011, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar berangkat menuju Arab Saudi untuk melobi kerajaan Arab Saudi agar mengampuni TKI yang melanggar hukum. Bila ini benar, setidaknya kita melihat ada upaya dari pemerintah terhadap nasib Ruyati.
Bahkan, saat itu Kemenlu RI juga menegaskan telah memberikan bantuan hukum dan kekonsuleran pada Ruyati. Syahdan, saat diadili lagi pada Mei 2011, Ruyati dijatuhi hukuman qisas dan kepalanya dipenggal 18 Juni lalu. Ia menjadi orang ke-28 yang dieksekusi pada tahun ini. Kompas melansir, ada 303 WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri.
*
Melihat sejumlah peristiwa yang telah terjadi, kesimpulannya adalah, bangsa kita kerap telat. Ibarat kisah di film-film dulu, polisi datang kemudian.
Setelah kita tertohok, ditampar, baru tersadar. Setelah Ruyati dipancung, baru kita focus dan intens mengurusi TKI. Bagaimana bisa, Negara kita kecolongan terhadap warganya yang akan dipenggal.
Pun demikian dengan Nazaruddin. Pemerintah telat bertindak. “Kabur” dulu, baru cekal kemudian. Sejumlah kasus kekerasa yang dialami TKW sebelum ini pun demikian. Disiksa dulu, kasih HP kemudian. Dan TKW tak butuh HP pak. Apalagi Kalau HP itu Hukum Pancung.