Meski tidak berbuat lebih atau tepatnya tidak berbuat apa-apa untuk keberlangsungan PDS HB Jassin yang kurang mendapat perhatian pemerintah itu, tapi setidaknya sejak dua hari lalu, saya memasang logo #KoinSastra di wallpaper BB saya. Semoga saja sedikit menggambarkan keprihatinan atas nasib PDS.
Sastra. Saya merasa awam dengannya. Sekalipun saya suka menulis puisi atau cerpen. Pengetahuan saya tentang sastra, kesusastraan amat minim. Sentuhan saya masih sebatas menikmati dan mencoba menulis.
Koin sastra tentu tidak sama dengan sastra koin. Kerananya, jangan terlalu serius pula dengan tulisan yang saya buat menjelang pulang kantor ini. Sastra koin hanya dua kata yang melintas di pikiran saya saja begitu membaca #KoinSastra. Sebagaimana saya ingat akan kata Sastra Selangkangan yang diarahkan oleh entah siapa kepada penulis lainnya.
Sastra koin anggap saja ia berupa sastra hasil pesanan. Ia dibeli dengan imbalan sejumlah mata uang. Karena ia pesanan, tentu ada maksud tertentu lagi khusus terhadap karya sastra koin itu sendiri. Bahkan bisa jadi, sastra ini menjadi propaganda untuk tujuan tertentu pula.
Jadi teringat saja, bahwa sejarah kesusastraan kita pernah ada –sebut saja konflik- antara Lekra di satu pihak dengan Manikebu di pihak lain. Anda yang punya banyak pengetahuan mengenai hal ini, sila berbagi kepada saya. Yang jelas, bila disebut Manikebu dan Lekra, beberapa kata yang muncul dari alam bawah sadar saya adalah, PKI, Taufiq Ismail, Pramoedya. Bagi saya yang awam, hanya heran bagaimana sastra yang harusnya luhur bisa dikotomi.
Koin sastra dan sastra koin tentu tidaklah sama bukan. Koin sastra menurut saya menjadi gerakan bahwa koin yang dianggap tak bernilai bisa memiliki nilai lebih. Ia sekaligus sindiran dan tamparan bagi pengabai PDS HB Jassin. Sementara sastra koin……Ah sudah...saya pulang dulu, semoga Sastra Menyatukan Kita sebagaimana judul berita di Kompas hari ini....