Artikel ini memiliki tujuan agar bangsa Indonesia dari kalangan beragama memiliki paham yang normatif dalam menerapkan ajaran Agama yang mereka anut.
Pluralisme sendiri juga dapat berarti kesediaan untuk menerima keberagaman (pluralitas), artinya, untuk hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, golongan, agama, adat, hingga pandangan hidup.
Cara pandang terhadap pluralisme merupakan suatu yang berperan sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tak jarang cara pandang pluralisme menjadi sorotan yang utama dan menimbulkan sikap-sikap tertentu, misalnya keterbukaan, ketertutupan, kebencian dan lain-lain.
Di antara banyaknya keberagaman yang kita miliki, agama adalah salah satu aspek yang dinilai dan dilihat sebagai sesuatu yang paling sering dibicarakan. Hal ini disebabkan oleh nilai-nilai mutlak yang terkandung di dalam ajaran agama tersebut dan juga karena agama sangat mempengaruhi cara berelasi orang-orang beragama.
Berkenaan dengan munculnya berbagai paham mengenai pluralisme sendiri menjadi sorotan banyak orang yang menimbulkan pro dan kontra di kalangan cendikiawan, pemikir dan tokoh agama. Secara khusus dalam hal agama, berbagai masyarakat yang menganut agama/kepercayaan berbeda-beda, dengan gambaran seperti itu, dapat dikatakan bahwa pluralisme agama bukanlah kenyataan yang mengharuskan orang untuk saling menjatuhkan, saling merendahkan, atau mencampuradukkan antara agama yang satu dengan yang lain, tetapi justru mempertahankannya pada posisi saling menghormati dan bekerjasama.
Sejatinya pluralisme bukanlah paham yang secara tiba-tiba muncul dari ruang hampa, akan tetapi di situ terdapat penghubung yang kokoh antara diskursus sekularisme, liberalisme yang kemudian lahirlah pluralisme.
Sekularisme muncul sebagai dampak dari perselingkuhan antara agama dan Negara yang melumpuhkan kondisi keadilan sehingga kemudian lahirlah ketidak percayaan publik yang kemudian berujung adanya sekularisme. Liberalisme lahir dari keterkungkungan oleh satu doktrin yang kurang fair sehingga ada kelompok tertentu tertindas, seperti halnya contoh mencuatnya teologi eklusifisme di tubuh agama-agama di atas.
Dari berbagai hal tesebut maka kemudian lahirlah ide liberalisme yang kemudian merekomendasikan adanya ruang kemerdekaan dalam memeluk agama. Secara tidak langsung kemudian dari liberalisme tersebut memunculkan kelompok-kelompok agama dan pada akhirnya mengharuskan adanya pluralisme sebagai satu penghargaan terhadap pluralitas yang ada.
Di sisi lain pluralisme bisa dikatakan sebagai etika global yang didasarkan pada penderitaan manusia akibat adanya kelesuan moral. Sehingga dengan pluralisme tersebut akan tercapai kesejahteraan manusia dan lingkungannya.