Enam tahun silam Nota Kesepahaman Damai antara Pemerintah Republik Indonesia (Pemri) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditandatangani di Helsinki, ibu kota Finlandia. Itulah hari di mana segala bentuk permusuhan dihentikan, kampak perang dikubur, dan siklus dendam diputus. Sejak itu, Aceh dalam hubungannya dengan Indonesia, mulai memasuki era baru. Era hidup berdampingan secara damai, setelah konflik bersenjata yang merusak relasi antarmanusia dihentikan melalui sebuah kesepakatan damai.
Bak kata pepatah Aceh, pat ujeuen nyang han pirang, pat prang nyang tan reuda. Dan itulah kenyataannya. Setelah berseteru sejak Desember 1976, konflik Aceh yang dimotori GAM berakhir dengan damai pada 15 Agustus 2005, delapan bulan setelah tsunami meluluhlantakkan Aceh. Awalnya banyak pihak meragukan perdamaian ini bakal berumur panjang, mengingat upaya ke arah damai yang dirintis Henry Dunant Center (HDC) di Jenewa tahun 2002 melalui jeda kemanusiaan (humanitarian pause), akhirnya buyar. Lalu berganti dengan kebijakan menerapkan status darurat militer dan darurat sipil di Aceh.
Tapi dalam perjalanannya, JoU Jenewa memang beda jauh dengan MoU Helsinki. Kesepakatan berupa MoU yang dimediasi Crisis Management Initiative (CMI) ini tampaknya lebih efektif dan lebih menjanjikan dalam membumikan damai di Aceh. keberhasilan kita semua dalam merawat bayi perdamaian harus kita lanjutkan secara lebih intensif lagi, mengingat di banyak bekas daerah konflik, konfliknya bisa kembali relapse (kambuh) setelah 5 hingga 10 tahun perdamaian berjalan.
Pertemuan antarpemangku kepentingan Aceh yang berlangsung di Kemendagri itu menyepakati agar semua pihak menahan diri (cooling down) demi menurunkan tensi politik yang sempat memanas menjelang pemilihan kepala daerah. Tapi meski diminta untuk menahan diri, tahapan pelaksanaan pilkada bisa terus dijalankan oleh KIP Aceh. Pertemuan yang berlangsung alot itu tidak menyepakati untuk menunda waktu pemungutan suara yang telah dijadwalkan KIP. Dalam tahapan yang ditetapkan KIP, pemungutan suara akan dilakukan pada 14 November 2011.
KIP Aceh akan memintai tanggapan dan masukan dari seluruh KIP se-Aceh terkait agenda penyusunan ulang jadwal pilkada di Aceh. Beberapa masalah harus diinventarisir, termasuk soal penjadwalan ulang. Menurut Ilham seluruh KIP di kabupaten/kota diharapkan sudah mendata persoalan apa saja yang akan dibahas dalam forum pertemuan. “Masing-masing KIP sudah siap dengan inventarisir masalah,”
Pihak KIP Aceh juga sudah mengagendakan pertemuan dengan Mendagri terkait pembahasan lanjutan Surat Mendagri yang meminta KIP membahas ulang jadwal pilkada dan permintaan cooling down. KIP menilai surat Mendagri tersebut perlu mendapat kejelasan lebih lanjut dari pihak Kemendagri karena ada poin yang dinilai masih multitafsir. Terutama soal poin yang menyebutkan; “apabila penjadwalan ulang mengakibatkan bergesernya hari pemungutan suara lebih dari 30 (tiga puluh) hari maka KIP Aceh mengusulkan penundaan sebagian tahapan pilkada sesuai dengan perundangundangan.”
Kesepakatan cooling down yang dicapai para pihak, menurutnya, adalah untuk mendinginkan/menyejukkan ketegangan politik antara legislatif dengan eksekutif terkait perbedaan pandangan menyangkut regulasi pilkada. KIP dan Gubernur bersepakat untuk mengeksekusi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan calon perseorangan maju dalam pilkada. Namun sebaliknya, DPRA bersikukuh tidak memasukkan calon independen dalam Qanun Pilkada yang disahkan pada akhir Juni lalu. Dalam pertemuan itu juga disepakati bahwa DPRA akan membahas ulang Rancangan Qanun Pilkada dengan mengakomodasi calon perseorangan. “Pembahasannya seusai Lebaran,” kata Gubernur Irwandi.
Seluruh pengurus partai politik (parpol) yang hadir dalam pertemuan kemarin setuju bahwa untuk penyelesaian konflik regulasi pilkada di Aceh dilakukan dengan cara cooling down atau penghentian sementara tahapan Pilkada Aceh selama sebulan penuh (4 Agustus-5 September 2011).
Malik Mahmud mengucapkan terima kasih atas sikap semua pihak untuk cooling down berkaitan dengan konflik regulasi pada pertemuan di Kemendagri. “Orang Aceh sangat demokratis. Kita tahu kapan harus perang dan kapan kita berdialog. Alhamdulillah, kami para pihak yang menandatangani MoU Helsinki juga melakukan komunikasi dengan Jusuf Kalla dan Hamid Awaluddin. Kita sepakat untuk menjaga perdamaian dengan menghormati kekhususan Aceh dan kesepakatan MoU Helsinki,” ujarnya.
Tuntutan ini tetap kami pertahankan dalam pertemuan tingkat tinggi dengan pemerintah pusat dengan maksud, supaya ke depan, jika ada pihak yang mengajukan judicial review terhadap pasal-pasal UUPA, maka Mahkamah Konstitusi (MK) dan pemerintah pusat harus mengkonsultasikannya lebih dulu kepada DPRA dan Pemerintah Aceh sebagaimana diamanatkan UUPA.
Walaupun banyak yang mengatakan bahwa orang Aceh ekstrem, namun orang Aceh juga sangat demokratis. Kita tahu kapan harus perang dan kapan kita berdialog. Semua pihak harus mengedepankan musyawarah. Alhamdulillah, kami para pihak yang menandatangani MoU Helsinki juga melakukan komunikasi baik dan silaturahmi dengan Jusuf Kalla dan Hamid Awaluddin. Kita sepakat untuk menjaga perdamaian dengan menghormati kekhususan Aceh dan kesepakatan MoU Helsinki.
Dengan adanya MoU Helsinki, seharusnya Aceh sudah menjadi daerah yang khusus. Semua kebijakan yang harus diambil untuk Aceh ada sejarah dan dasarnya dan semua pihak harus komit terhadap perdamaian.Biarlah rakyat Aceh menentukan pimpinannya sendiri nanti pada tanggal 14 November 2011 untuk memilih pasangan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati serta Walikota/Wakil Walikota yang amanat dan bertanggung jawab jauh dari konflik-konflik yang menambah kesengsaraan bagi masyarakat.