Seiring dengan perkembangan zaman, ditambah dengan masuknya era Revolusi Industri 5.0 yang diresmikan pada tanggal 21 Januari 2019 sebagai resolusi atas Revolusi Industri 4.0, masyarakat mulai berinteraksi dengan teknologi baru untuk diintegrasikan dalam kehidupan mereka. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memberikan pengaruh yang besar kepada masyarakat. Perkembangan pesat dalam bidang teknologi telah membuka pintu bagi kemajuan besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Internet, media sosial, dan platform komunikasi digital lainnya menyediakan akses tak terbatas ke informasi dan konektivitas global. Namun, di balik manfaatnya, teknologi ini juga memberikan panggung bagi tindakan cyberbullying yang merusak.
Berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights atau biasa disingkat dengan ICCPR), terdapat beberapa Hak Asasi Manusia yang dilindungi oleh negara, salah satunya adalah kebebasan berpendapat. Adapun kritik terhadap kelompok atau orang tertentu termasuk kedalam tindakan yang dilindungi dibawah freedom of speech ini, namun perlu diketahui bahwa ada perbedaan signifikan diantara kritik yang membangun dan ujaran kebencian atau umum disebut hate speech. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritik didefinisikan sebagai respons atau tanggapan terhadap suatu karya, pendapat, atau hal lainnya, yang kadang-kadang disertai dengan analisis dan evaluasi mengenai kebaikan dan keburukan. Kritik, dalam konteks ini, bisa berupa ungkapan lisan atau tertulis yang menanggapi sesuatu yang dianggap kurang memadai. Tujuan kritik adalah memberikan saran untuk perbaikan. Meskipun terkadang berbeda pendapat dan menimbulkan kontroversi, kritik pada dasarnya bermaksud mengarahkan sesuatu agar menjadi lebih baik. Kritik juga tidak mengandung unsur hasutan atau ajakan untuk membenci atau tidak menyukai sesuatu.
Di sisi lain, ujaran kebencian adalah bentuk komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan maksud untuk memprovokasi, menghasut, atau mencela individu atau kelompok lain berdasarkan berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnik, jenis kelamin, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Ujaran kebencian lebih bersifat mengajak atau merendahkan pihak yang dibenci, dengan tujuan untuk menimbulkan kebencian. Lingkupnya jelas terkait dengan perbedaan yang tidak umum, seperti perbedaan warna kulit, dan cenderung menimbulkan ketidaksetujuan atau kebencian terhadap pihak tersebut. Ujaran kebencian tidak berusaha membangun atau mengarahkan pihak yang dituju kepada hal yang lebih baik.
Memahami perbedaan antara kritik dan ujaran kebencian memang tidaklah mudah dan memerlukan pemikiran yang cermat. Secara sederhana, kritik bertujuan untuk memberikan saran untuk perbaikan tanpa ada niatan untuk membenci, sedangkan ujaran kebencian bertujuan untuk merendahkan dan menimbulkan kebencian terhadap suatu objek. Penting untuk memberikan penilaian yang objektif terhadap suatu kegiatan manusia, termasuk apakah itu kritik atau ujaran kebencian, dengan mempertimbangkan konteks dan tujuannya. Hal ini sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk menyalahgunakan kritik dan mengarahkannya sebagai ujaran kebencian agar dapat ditindak secara hukum.
Cyberbullying, sebagai salah satu bentuk ujaran kebencian, merupakan bentuk intimidasi atau pelecehan yang dilakukan melalui media digital. Pesan-pesan beracun, komentar negatif, atau manipulasi foto dan video seringkali menjadi sarana untuk menyebarkan kebencian dan merendahkan martabat individu. Bagi Generasi Z, yang secara intensif terlibat dalam aktivitas online, cyberbullying dapat dengan mudah merusak reputasi dan kesehatan mental mereka. Beragam faktor dapat memicu perilaku cyberbullying: ketidakmampuan untuk memahami dampak kata-kata secara online, tekanan sosial untuk menjadi populer, dan kurangnya pengawasan dari orang tua atau pengajar adalah beberapa di antaranya. Selain itu, anonimitas yang diberikan oleh platform online seringkali memperkuat perilaku berbahaya ini.
Berdasarkan hasil riset dari Center for Digital Society pada tahun 2021, dari total 3.077 siswa SMP dan SMA yang disurvei, sebanyak 45,35 persen melaporkan pernah menjadi korban cyberbullying, sementara 38,41 persen siswa mengaku pernah melakukan tindakan cyberbullying. Selanjutnya, menurut data Unicef pada tahun 2022, 45 persen dari 2.777 anak di Indonesia menyatakan pernah menjadi korban cyberbullying. Data yang diperoleh oleh Pew Research pada tahun 2022 menjadi landasan jenis tindakan cyberbullying yang umum terjadi di masyarakat, hampir separuh remaja (49 persen) telah mengalami beberapa bentuk penindasan maya. Jenis penindasan maya yang paling umum dialami adalah pemanggilan nama yang menyinggung, dengan satu dari sepuluh remaja juga menerima ancaman fisik. Berikut adalah jenis-jenis spesifik cyberbullying yang paling umum di kalangan remaja:
- Penyebutan nama yang menyinggung (32 persen)
- Penyebaran rumor palsu (22 persen)
- Menerima gambar eksplisit yang tidak diminta (17 persen)
- Permintaan berulang mengenai lokasi atau keberadaan mereka (15 persen)
- Ancaman fisik (10 persen)
- Menyebarkan gambar eksplisit mereka tanpa persetujuan (7 persen)