Saling lempar bola panas yang bernama kenaikan harga BBM ini pula menunjukkan secara jelas kepada publik bahwa pola politik Jokowi tak jauh berbeda dari SBY. Yakni sama-sama menggunakan politik "citra" bukan politik "kesatria". Rasa takutnya Jokowi untuk kehilangan citra manisnya dari publik juga dapat dilihat dari bagaimana ia, pasukannya dan beberapa media massa berupaya mati-matian (seporadis) mencoba menggiring opini publlik bahwa keniakan harga BBM adalah suatu kebijakan yang "merakyat" dan patut diapresiasi. Bahkan, entah karena sudah kehabisan akal atau entah kenapa, salah satu media massa televisi suwasta yang pemiliknya adalah pemimpin dari salah satu parai politik yang mengusung Jokowi mencoba menampilkan kepada publik bahwa masyarakat Indonesia siap dengan kenaikan harga BBM dengan alasan melihat meningkatnya konsumsi rokok di Indonesia. Sungguh alasan yang sangat konyol dan menggelikan. Bila dilihat dari jumlah keseluruhan rayat Indonesia, perokok itu jauh lebih sedikit dari pengguna BBM bersubsidi.
Belum lagi masalah bagi-bagi kursi menteri pada elit partai politik yang mengusungnya. Dengan alasan politis Jokowi berdalih bahwa "tidak ada makan siang yang geratis". Di lain kesempatan Wakil Jokowi, yakni JK mengatakan bawha di dalam partai politik juga ada orang yang profesional. Alasan-alasan ini mnurut hemat penulis hanyalah bualan politik dan pembodohan kedapa rakyat secara kasat mata.
Singkatnya, masih belum dilantik saja Jokowi sudah tidak berani menghadapi realita tanggung jawab yang mesti ia emban. Masih belum dilantik saja sudah melakukan aktrobat politik yang memuakkan. Entah apakah karena medan percaturan politik nasional mengaruskan adanya "tak-tik" pencitraan, atau karena rakyat Indonesia yang masih suka pada politisi yang pandai memoles citra protoginis yang soelah-olah baik dan seolah-olah merakyat.. entahlah..