Saya tidak hendak bercerita tentang kegagalan saya. Saya hanya ingin berbagi sebuah pengalaman paiing berkesan bagi saya.
Suatu hari, pada minggu ke sekian, bulan yang bersangkutan pada tahun tersebut, saya kehilangan uang tabungan siswa di kelas. Sebenarnya ini terjadi karena keteledoran saya. Menyimpan uang di laci tanpa dikunci. Saya tidak pernah berfikir uang itu diambil anak-anak. Ternyata perkiraan saya salah. Setelah melakukan investigasi akhirnya saya berhasil menemukan pelakunya. Tiga orang terjaring razia.
Dua orang di antaranya dalam waktu singkat mengakui perbuatannya. Tetapi salah seorang di antara mereka—sebut saja Andi—sejak awal bertahan pada pendiriannya. Berbeda dengan dua temannya Andi tidak mau mengaku. Padahal hampir semua temannya menyebut dia salah satu pelakunya. Bahkan siswa yang terkena razia menerangkan bahwa mereka ikut melakukannya atas komando Andi.
Berbagai cara saya lakukan agar Andi mengakui perbuatannya; dari bujukan sampai ancaman akan dilaporkan kepada polisi. Bahkan ketika saya memberikan beberapa lembar uang ribuan sebagai hadiah agar Andi mengaku, tetap saja tidak berhasil. Yang luar biasa adalah ketika Andi bersumpah atas nama Allah kalau dia tidak melakukannnya. Entah dari mana anak sekecil itu menemukan kalimat pembelaan semacam itu.
Anda bisa membayangkan perasaan saya saat itu; marah, kesal, dan kecewa bersatu membentuk bukit konflik dalam diri saya. Apalagi ketika saya menyadari bahwa saya gagal membayar kejujuran itu dengan uang. Sementara Andi mengaku, saya suruh Andi berdiri di salah satu sudut ruangan dengan harapan dia akan berubah pikiran.
Andi tetap saja Andi dengan sikapnya yang santai. Saat berdiri di tempat yang saya tentukan tadi, Andi tampak menatap benda di ruangan itu satu-persatu. Pandangannya berhenti pada sebuah benda berwarna emas di atas sebuah rak; sebuah piala.
“Pak Guru, itu apa?” tiba Andi bertanya tanpa canggung sambil menunjuk benda itu.
“itu namanya piala.”
“Piala itu buat apa, Pak?”
Mendengar pertanyaan Andi saya mendadak mendapat ide baru untuk membuatnya mengaku.
“Ooo, Piala itu hadiah yang diberikan untuk anak-anak yang pintar, anak yang jadi juara, atau anak yang jujur, anak yang tidak bohong. Andi mau diberikan piala itu?” saya mencoba menawarkan sambil berjalan kea rah benda itu untuk mengambilnya.
Andi mengangguk sambil tersenyum.
“Baiklah. Piala ini boleh jadi milik Andi tetapi Andi tidak boleh bohong. Andi ambil uang itu, kan?”
Masih sambil tersenyum, Andi mengangguk pelan. Melihat isyarat pengakuan itu, saya seperti mendapat durian runtuh. Saya senang tidak terkira.