Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Sekolah Kaya Penjara ,,

1 Desember 2011   02:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:59 130 0
Hari ini gw agak panjang ya menuliskan postingan ini, jadi siap2 untuk menambahkan kopi dan cemilan sambil membaca tulisan gw yang berasal dari kejadian kemarin pagi.

Baru kali ini dalam masa gw sebagai wali kelas mendapatkan total absensi anak2 gw berjumlah 52 Alpa, shock pastinya saat gw tau jumlah alpa anak2 kelas gw seumur-umur gw menjadi walas baru kali ini gw mendapatkan total alpa segitu banyak, setelah gw teliti ada beberapa anak yang memang langganan alpa sampai 10-15 alpanya di bulan ini. Dan akhirnya gw memanggil anak terserbut dan kedua orang tuanya *yang datang hanya ibunya* sekedar menanyakan hal-hal yang biasanya gw pikir akan mendapatkan alasan dari anak seperti "males", "bosen belajar", "gak enak gurunya", atau hal-hal lainnya tapi ternyata jawaban yang gw dapet itu membuat gw mikir lagi tentang dunia pendidikan ini, alesan kenapa dia sampai tidak pernah masuk adalah "SEKOLAH KAYA PENJARA".

Wooowwwww, jawaban yang simple tapi kalo gw sebagai pengajar gak ambil kenapa sampai dia bisa bilang seperti itu pastinya gw bakalan men-judge dia juga anak yang "nakal", tapi dibalik ucapannya itu ternyata seperti inilah sistem dan kebobrokan pendidikan dinegara kita ini. Pada prinsipnya pendidikan sepenuhnya merupakan interaksi antara orang perseorangan dengan dunia luar dirinya ataupun dengan masyarakat, kenyataannya saat ini sekolah adalah pemegang hak monopoli atas pengetahuan dan keterampilan bagi anak-anak sekarang. Contoh kongkritnya seperti apa kalo dalam kerajaan-kerajaan dikenal dengan slogan "The King can do no wrong" maka kalo dikelas berlaku prinsip "Teacher can do no wrong".




Dan itu memang gw rasakan banget, sometimes saat gw salah pun gak mau disalahkan, salah memang sikap seperti itu tapi inilah bentukan dari pihak pemerintah dan yayasan atau lembaga pendidikan swasta tersebut. Maka sikap kritis dari anak-anak akan terpangkas habis atau boleh dikatakan tidak bisa diharapkan sama sekali dari sekolah. Kenapa karena kesemuanya berlandaskan kepada "kurikulum nasional" yang disusun oleh "orang pintar" dan untuk kebutuhan pendidikan masyarakat, tapi nyatanya masyarakat sama sekali gak pernah diikutsertakan dalam membahas seperti apa kurikulum yang ingin diberikan kepada peserta didik.

Begitupun dengan teknis pengajaran di sekolah, kalo boleh gw manggil diri gw adalah "buruh terpelajar" *batja : guru* yang dibayar sangat rendah, sehingga gak mungkin dong gw dan teman-teman lainnya memikirkan hal-hal lain kecuali mencari siasat agar bisa hidup selama 1 bulan kedepan dengan gaji 1minggu, lihat perbandingan UMR para buruh di Indonesia ini dengan honor guru yang diterima, sangat jauh berbeda. Nah untuk menyenangkan atau di buat bangga dibuatlah slogan "pahlawan tanpa tanda jasa" gw benci dengan slogan kaya gitu, kesannya gw dan teman-teman mengajar lainnya itu gak boleh protes soal kenaikan gaji kami, saat kami protes pasti masyarakat akan menilai "mana pengabdiannya", "kan kalian pahlawan tanpa tanda jasa" lhaaa emang di negara kita tercinta ini ada gitu mantan pahlawan yang hidupnya senang, rumahnya aja gak punya *lihat para anumerta2 perang*. Profesi yang gw tekuni ini diagung-agungkan sebagai profesi yang "mulia", tetapi gw yang menekuni profesi ini "diwajibkan" untuk miskin oleh pihak-pihak terkait *batja : pemerintah, sekolah swasta*.

Dampaknya apa, para peserta didik hanya akan dilihat dari nilai raport, nilai UN ataupun nilai IP, yang tertinggi itulah anak yang berhasil dan menjadi anak kesayangan guru-guru, mereka yang berhasil mengulang semua materi yang udah gw dan teman2 pengajar ajarkan. Mereka tidak lagi kritis yang bisa mengikuti maka akan dicap "anak baik" yang nyatanya seperti topeng monyet, sedangkan yang suka kritis, menyela dan mempertanyakan segala sesuatu yang diajarkan akan segera diberi label "anak nakal" dan harus dijauhkan.

Gila memang, makanya gw gak heran anak gw tadi bisa bilang "SEKOLAH KAYA PENJARA" ya karena anak seperti ini hanya dilihat saat dia bandel saja atau pada saat mereka merajuk saja, tetapi gw dan teman-teman guru gak bisa melihat potensi lain yang ada di diri masing-masing anak. Siapa yang harus disalahkan?? sayangnya gw gak punya jawaban yang realistis atas pertanyaan tersebut, tapi pastinya sejak masuk kedalam dunia sekolah maka masa depan mereka seberanya sudah "ditentukan" nasibnya. Harga diri dan keberhasilan dari mereka serta nilai kemanusiaan seseorang "diukur" berdasarkan nilai ujian nasional, raport, IP dan tingkat kepatuhannya kepada sang guru, makanya jangan heran kalo nanti anak2 didik gw bakalan tidak menunjukkan kepercayaan diri untuk menjalani kehidupan nyata di luar sekolah.

Inilah potret pendidikan di negara kita ini, mendekati waktu pelaksanaan UN nanti yang akan diadakan bulan Maret, maka pihak-pihak sekolah sedang bersiap-siap untuk membuat team success agar pelaksanaan UN nanti "pasti" meluluskan anak-anak mereka 100 %.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun