Itulah kalimah perdana yang meluncur manis dari bibirmu yang menghitam. Sepuntung rokok teronggok lemas dikepit jari telunjuk dan tengahmu. Berkali-kali kau menggaruk rambut keritingmu yang panjang tergerai. Sesekali terbatuk dan kembali mengisap rokok kretekmu. Aku masih diam. Mengangguk-angguk sesekali sambil mendengarkan alunan instrumen biola berjudul “Viva” dari kedua earphoneku. Volumenya tak full, itu agar aku mendengar suaramu, desah nafasmu, atau mungkin lebih dari itu, suara detak jantungmu.