Sebelumnya di banyak kesempatan, Wiranto memang berkisah bahwa pihaknya sudah lelah menjadi oposisi dan ingin masuk pada koalisi yang kemungkinan besar menang. Karena itu, Wiranto berkali-kali mengadakan pertemuan atau komunikasi politik sendiri bersama pemimpin partai lain.
Dari berbagai pertemuan itu akhirnya Wiranto memutuskan untuk mendekat pada PDIP, karena menilai bahwa Jokowi punya kans besar untuk menang.
Ada pertemuan yang cukup intens antara pihak Wiranto dengan pihak PDIP. Pertemuan ini diprakarsai oleh Agum Gumelar sebagai teman lama Wiranto. Agum Gumelar ini dikenal sebagai mantan MenteriPerhubungan pada kabinet Gotong Royong dan suami dari menteri Linda Gumelar.
Menurut cerita yang beredar di kalangan terbatas itu, berawal ketika Agum dan teman-teman 'membujuk' Wiranto agar tidak lagi keukeuh ingin mencalonkan diri jadi presiden Indonesia.
Agum di kalangan pensiunanan perwira tinggi cukup disegani bukan saja karena saat ini menjabat sebagai Ketua Purnawirawan TNI, tapi juga karena hubungan baiknya dengan banyak pihak.
Setelah berhasil membujuk Wiranto (untuk tidak maju lagi sebagai calon Presiden) Agum diberi tugas oleh Wiranto untuk melakukan pendekatan informal ke PDIP dan Nasdem.
Secara pribadi, Agum memang menaruh simpati kepada Jokowi dan berharap sosok itu jadi Presiden Indonesia selanjutnya. Tak terlalu sukar bagi Agum untuk mendekati PDIP dengan membawa misi Wiranto, mengingat Megawati cukup mengenal dan menghormati Wiranto.
Kemudian Agum juga mendekati Surya Paloh sebagai ketua Nasdem. Nasdem perlu didekati oleh Hanura mengingat partai ini pertama kali mendekat ke PDIP usai Pileg. Mereka mengklaim bahwa antara PDIP dan Nasdem ada benang merah kuat yaitu Soekarnois.
Beberapa sumber berkata bahwa pendekatan Agum kepada Nasdem ini dengan membawa pesan bahwa 'urusan pertikaian antara Surya Paloh dan Hary Tanoe adalah urusan antar mereka'. Pokoknya kali ini Hanura tak mau kehilangan tiket di gerbong yang mereka yakini akan menang.
Pada rangkaian pembicaraan selanjutnya dengan Hanura, Surya Paloh berkeberatan jika Hanura melibatkan Hary Tanoe. Sehingga di berbagai pembicaraan itu Hary Tanoe juga tak diajak oleh Wiranto.
Wiranto memilih PDIP sebagai gerbongnya. Hary Tanoe yang sebagai pengusaha juga bersikap membantu dua pengusaha di poros berbeda ; Poros Indonesia Hebat (PDIP) dan Poros Indonesia Raya (Gerindra). Sikap yang diterjemahkan Wiranto sebagai pembangkangan terhadap kebijakan partainya.
Karena bernafsu ingin menang dan tanpa berfikir apa yang telah diperjuangkan bersama selama ini, Wiranto langsung memenuhi persyaratan itu.
Akhirnya terputuslah hubungan Wiranto - Hary Tanoe. Tanpa ucapan terima kasih atau lainnya. Putus begitu saja.