[caption id="attachment_136345" align="aligncenter" width="300" caption="sumber gambar: Google"][/caption] Ketika mengikuti percakapan teman-teman saya dalam sebuah komunitas perempuan, saya langsung mengerutkan kening dan bertopang dagu. Merenungi dan mencoba berdialog dengan hati sekiranya ada sesuatu yang bisa saya nilai sebagai sebuah “kebaikan” dari percakapan itu. Saya ingin menjadi obyektif dengan penilaian saya, tentu saja. Namun, seperti yang juga saya rasa, setiap kepala tentu memiliki gagasannya sendiri dalam memandang kehidupannya. Maka apa boleh buat, keberadaan “relatifisme” membuat saya harus mengakui penilaian saya ini hanya subyektifitas semata. Nah, apa isi percakapan itu? Masih sama isunya: kehebatan antara perempuan yang memutuskan bekerja penuh waktu mengurus rumahtangganya dan perempuan yang memutuskan untuk berkarier di luar rumah. Dikotomi ini terlalu jelas. Lebih jelas dari fakta yang sebenarnya ada dan tentu saja: tidak sesederhana itu, sayaulangi, TIDAK SESEDERHANA ITU dalam pandangan perempuan itu sendiri. Mengapa? Ambil satu pendapat teman saya yang mengatakan bahwa ia sangat bangga dengan usahanya dan merasa bangga karena bisa sepanjang waktu di rumah kemudian dengan santainya berujar bahwa ia bisa menjadi kaya tanpa harus meninggalkan rumah dan keluarga. Dari komentarnya, ada terselip bahwa ia tidak lebih buruk dari ibu-ibu yang memutuskan bekerja di luar dan meninggalkan anak-anaknya. Pun, saya mencium ada perasaan bahwa ia tentu saja lebih baik dari perempuan yang “hanya di rumah saja” meski saya tahu benar bahwa dalam berinteraksi, teman saya ini terlihat sangat menghargai perempuan yang “hanya di rumah saja” yang biasa disebut sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Apa tolok ukurnya? Sayakira adalah materi dan eksistensi. Padahal, ada dua hal yang menurut saya ganjil. Pertama, ia bangga bisa berada di rumah dan bisa menghasilkan materi, seolah merasa lebih baik dari orang yang berkarier di luar rumah dan sedikit merasa lebih unggul dari IRT yang tidak eksis. Kedua, saya tentu tidak yakin dalam berbisnis, meski ia di rumah, ia tidak akan mencuri waktu untuk keluarganya dengan intensitas yang cukup serius padahal ia berkomitmen untuk menjadi “orang rumah” yang akan mencurahkan waktu sepenuhnya untuk suami dan anak-anak? Adakah usaha yang membuat menjadi kaya tanpa harus bekerja keras? Lalu, adakah yang salah dengan seorang perempuan yang secara lebih jelas mengambil waktu antara jam sekian hingga sekian untuk bekerja lalu pulang ke rumah untuk mengurusi suami dan anak-anaknya? Satu lagi teman saya, memilih keluar dari pekerjaannya untuk suami dan anak-anaknya. Ia berpendapat bahwa itu suatu keputusan yang tepat dan kemudian menjadi tidak habis pikir mengapa perempuan-perempuan harus memutuskan bekerja saat suaminya mampu memberinya kehidupan yang layak. Ia memiliki perasaan bahwa itu adalah sebuah “kejahatan” bagi rumah tangga. Tidak mungkin bisa perempuan berkarier tidak capek mengurusi rumah tangga. Saat sikapnya terhadap perempuan bekerja itu terbentuk seperti itu, ia merasa hidupnya kadang mengalami kemunduran dan dia juga menanyakan mengapa saat ia bergaul dengan IRT lain bahkan ia mendapati fakta yang sangat mengejutkan bahwa banyak IRT yang memiliki konsep diri yang rendah. IRT teman bergaulnya bahkan tidak memercayai bahwa ia adalah seorang sarjana. Ada lagi teman saya yang begitu bangga sebagai perempuan pekerja dan berpendapat bahwa perempuan yang tidak berkarier dan memutuskan menjaga suami dan anak-anaknya di rumah adalah perempuan yang menyia-nyiakan hidupnya. Berbusa-busa ia meyakinkan saya akan eksistensi, akan besarnya biaya hidup di kota besar (yang menurut saya sangat relatif), akan pandainya ia mengatur waktu antara rumah dan keluarga. Toh, bagi saya itu hanya sebuah
excuse karena pada prakteknya, saya tidak melihat keharmonisan rumah tangga-nya. Tentu kalau saya mau ambil contoh yang lebih lanjut, adalah sebagian teman IRT saya sendiri yang merasa bahwa menjadi IRT adalah satu-satunya keputusan yang begitu mulia hingga mereka begitu sinis melihat perempuan bekerja atau malah tidak perduli sama sekali. Tanpa ampun, mereka terjebak dalam rutinitas harian yang sangat monoton tanpa motivasi untuk memperbarui diri sehingga yang nampak oleh saya adalah IRT yang biasa-biasa saja: maju tidak, mundur iya. Tidak pernah bermasalah dan tidak pernah berprestasi. Biasa saja. Susahnya, jika di antara mereka ada yang terjebak pada dua titik ekstrim. Sebagian mereka menilai terlalu rendah diri mereka sendiri sehingga menjadi cenderung tidak percaya diri, merasa tidak berharga, merasa serba negatif. Sebagian lain malah gagal untuk mengenali dan mengakui keterbatasan mereka, kurang bisa mengemukakan alasan-alasan dalam bertingkahlaku sehingga menjadi begitu defensif dan tinggi hati. Saya tentu tak harus mengambil contoh teman saya yang lainnya, Anda bisa mencarinya sendiri. Alih-alih menemukan titik yang jelas tentang apa yang sebenarnya diinginkan oleh perempuan, saya cenderung melihat bahwa banyak dari teman perempuan saya tanpa menyadari benar perilaku dan pendapatnya, mereka seringkali berperilaku dan berpendapat seperti apa yang diharapkan oleh orang lain kepada dirinya untuk berperilaku dan berpendapat. Selain menerima fakta bahwa dua dikotomi yang telah sayasebutkan di atas memiliki kompleksitas, saya terkejut mendapati fakta bahwa diri saya mendapati kebingungan akan sikap beberapa perempuan. Mungkin saya-lah yang naïf, saya-lah yang bodoh, saya-lah yang
Iebay…. Tapi, saya lebih menyukai diri saya yang jujur. Sungguh, saya bingung: apa yang sebagian perempuan kehendaki saat berperilaku dan berpendapat dalam kehidupan mereka? Secara pribadi saya lebih menyukai perempuan yang tidak pernah bangga pada pencapaian prestasi yang merupakan harapan banyak orang: perempuan karier sukses, perempuan IRT sukses, perempuan pengusaha sukses. Saya menyukai perempuan yang bangga karena ia memang seharusnya bangga akan dirinya sendiri dan pencapaian prestasinya. Ia memiliki pengetahuan dan alasan dari setiap perilaku dan keputusannya. Saya menyukai perempuan yang bersikap bahwa dialah seorang perempuan yang pantas dilihat sebagai seorang perempuan. Sukses dan bijak sebagai dirinya sendiri sehingga orang di luar dirinya tidak perlu melihatnya berdebat dengan sesama perempuan dan menghadirkan penilaian yang tidak masuk akal dari orang luar mengenai diri seorang perempuan itu sendiri. Saya menyukai perempuan yang tidak pernah merasa mendapat pesaing dan ia tidak pernah menoleh dan risau pada kelebihan dan kekurangan orang lain. Ia menjadi dirinya sendiri dan tidak pernah merasa lebih bangga atau lebih buruk dari perempuan yang pernah iajumpai secara berlebihan. Saya menyukai perempuan yang menjabat tangan orang lain dengan penuh kelapangan dan kebebasan saat ia bertemu dengan pemenang maupun pecundang. Bahkan, pada saat dirinya tengah berada di puncak kejayaan atau harus mengalami kegagalan. Perempuan yang tidak pernah merasa dirinya harus menang atau kalah dalam arti yang sebenarnya. Perempuan yang menganggap bahwa hidup adalah perjuangan dan tanggungjawab. Titik. Cukup. Tanpa ada tambahan dan persepsi lain dalam sebuah “perjuangan” dan tanggungjawab. Saya berpendapat, bahwa setiap perempuan memunyai kehidupan yang sangat personal dan sangat berbeda antara satu dengan lainnya. Perempuan memiliki persinggungan eksistensi yang berbeda antara satu orang dengan yang lainnya sehingga menghasilkan prioritas dan kompromi dalam hidupnya yang tidak pernah sama. Perempuan hidup dalam budaya, keyakinan, sistem, dan bahkan geografis yang berbeda. Terlebih, perempuan memiliki kesempatan dan takdir yang berbeda. Kebetulan, saya mengagumi seorang sosok perempuan yang terlibat aktif dalam politik. Luar biasa, putra-putrinya selusin, ibadahnya bagus, dan prestasinya baik. Dalam pandangan saya, ia pun menutup usia dengan keadaan yang baik. Luar biasa. Saya tentu menjadikannya sebagai teladan, tapi saya tidak pernah iri dengan kesempatan dan takdir yang dimilikinya. Saya merasa, ia telah menjumpai takdirnya saat ia berkontribusi besar sejak partai politik itu berdiri. Maka, tak mengherankan jika ia pun mendapatkan tempat dan dukungan secara sistemik. Ia hidup dalam mekanisme partai dan mekanisme itu berjalan turut menyukseskan seluruh karier dan kehidupannya. Ia hanya seorang yang baik dalam hidupnya dan pandai mengambil serta menghargai kesempatan dalam takdirnya sehingga ia menjadi sukses baik kehidupan rumah tangga-nya maupun karier politiknya. Dia pantas sayakagumi. Saya tidak pernah merasa iri mesti saya senang melihat kehidupan seorang Kyai yang istrinya seorang professor yang dengan kesibukan akademisnya menjadi sangat jarang berada di rumah. Namun, saya melihat bahwa keluarganya hidup sangat harmonis dan putra-putrinya sukses dalam kehidupan masing-masing. Saya juga menghormati seorang perempuan yang memilih untuk menjadi IRT demi mendukung anak-anaknya atau bahkan karier suaminya. Dan, ia terbukti konsisten dengan keputusannya sehingga kehidupan pribadi dan sosialnya berjalan dengan amat sangat baik. Anak-anak sukses, karier suami juga cemerlang. Tentu saja, saya juga mencoba mensyukuri dan mengagumi kehidupan yang sudah sayapilih dan jalani. Saya tidak merasa harus melukai keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan diri sendiri dengan pendapat orang lain, sebaliknya, sayaulangi, sebaliknya, saya tidak harus melukai keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan orang lain dengan pendapat saya pribadi. Sebab, hidup bagi saya adalah perjuangan dan tanggungjawab. Dan, jika Anda jeli, Anda akan mengkritisi mengapa saya perlu kosakata “mencoba” dalam mensyukuri dan mengagumi kehidupan. Bagi saya, kata “mencoba” selalu berkaitan erat dengan “perjuangan”. Tidak pernah ada kata yang manis, pasti, dan mudah dalam sebuah perjuangan. Maka, tatkala teman-teman perempuan komunitas saya melangkah bersama saya, saya pun berharap langkah kami adalah sama. Kami sedang berjuang. Bahkan, untuk menghapuskan kesan keliru terhadap diri perempuan itu sendiri. Kami bukan orang yang kecil hati, kami adalah pejuang!
KEMBALI KE ARTIKEL