Sejatinya, awal tahun ini partai-partai sudah bisa memegang jagonya masing-masing. Tapi lain halnya dengan PDIP, partai wong cilik ini belum memiliki calon yang pantas untuk diusung maju pada pilkada Juni mendatang. Walhasil, keberhasilan menempatkan tiga orang kadernya dan posisi wakil ketua di legislatif menjadi kurang greget. Berbeda dengan PAN atau PDK, keduanya telah memutuskan secara resmi calon yang akan diusung.
Strategi mematok kader pada posisi wakil bupati menjadi senjata makan tuan bagi PDIP. Posisinya betul-betul sedang berada diujung tanduk.Kalau dirunut sejarah partai berlambang banteng gemuk ini pada pilpres, ada kecenderungan militansi kader ditafsirkan menjadi fanatisme buta sehingga memaksakan kehendak partai tanpa mau melihat realita politik yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Lebih tragisnya, fenomena ini berlangsung terus dan terjadi pembiaran sehingga muncul rumors bahwa PDIP memang besar dinama tapi tidak dalam kapasitas sebagai partai pemegang kendali kekuasaan. Walaupun Megawati pernah menjadi presiden, itupun hanya mengisi kekosongan politik setelah Gus Dur lengser.
Beberapa pandangan ekstrem bahkan menganggap partai nasionalis ini lebih pas menjadi oposisi abadi. Perjalanan partai yang begitu sarat dengan penentangan terhadap kemapanan membuat karakteristik partai sudah menjadi pakem. Jargon merdeka adalah bukti bahwa PDIP memang sudah takdir untuk berada diluar sistim kekuasaan. Kalaupun ada niat sebahagian elit untuk membelokkan garis perjuangan partai dan merapat pada kekuasaan, ini dipastikan tidak akan awet.
(tulisan ini juga dimuat di www.soppengposonline.co.cc