Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Pak Madsai Penerima Kalpataru, Penanti Kalpataru

17 Juli 2012   07:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:52 1069 3
Diantara kerumunan pengunjung, ia terlihat menahan air mata. Beberapa kali diam-diam mengelap matanya dengan bajunya. Saat itu saya berpikir “Bapak ini kenapa? ditanyakan apa sampai menangis begitu?”. Bapak tersebut adalah seorang jagawana Cagar Alam Pulau Dua. Ia dikenal dengan nama Pak Madsai, si penerima Kalpataru. Saat itu saya sedang melakukan kunjungan ke Desa Sawah Luhur, Kecamatan Kasemen, Serang Banten, Senin 16 Juli 2012. Kunjungan ini undangan dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) untuk melihat lokasi project Wetland International dimana masyarakatnya di ajak menanam mangrove dalam tambak ikan/udang mereka untuk membantu masyarakat sekitar mengurangi intrusi air laut. Dan kebetulan dekat Cagar Alam Pulau Dua ini sehingga kami melihatnya.

“Bapak kenapa terharu?”, tanya saya.

“Sangat berat..”, jawabnya tanpa melanjutkan perkataannya. Air matanya justru semakin berlinang ketika saya mengajukan pertanyaan tersebut. Ia berbalik badan dan mengusap air matanya.

“Ia terharu mba”, kata rekan jagawananya, ”karena beliau ini sudah lama disini, tahu benar seluk beluk cagar alam ini, perjuangan beliau berat makanya ia terharu kalau ada orang-orang yang tanya-tanya”.

Saya langsung terdiam namun justru mengundang saya ingin berbincang lebih lanjut dengan beliau.Diusia yang sudah beranjak kepala enam, Pak Madsai akan pensiun tahun depan tepatnya bulan April 2013. Mungkin itu salah satu yang menjadi alasan ia meneteskan air mata. “Setelah pensiun, mungkin saya jadi petambak, entah mba seadanya saja”, katanya.

Sudah 30 tahun lebih, sampai ia pun sulit mengingat secara tepat berapa lama ia menjaga cagar alam ini. Ia sudah menghadapi segala ancaman bahkan mempertaruhkan nyawa dan nasib keluarganya. “Orang-orang disini suka bilang, pohon dibiarkan saja nanti juga akan tumbuh sendiri”, ungkapnya.

“Padahal tidak seperti itu”, sambungnya dengan raut muka kecewa.

“Pertama kali saya pakai botol-botol bekas mba untuk tanam mangrove”, ceritanya, “dulu saya nanam sendirian, saya cari bibit mangrove sendiri”.

“Bapak ga beli bibitnya?” tanya saya

“Hahaha..saya ga punya modal kalau harus beli”, jawab Pak Madsai sambil tertawa.

Pohon-pohon mangrove dan api-api yang sekarang terlihat di Cagar Alam Pulau Dua merupakan salah satu hasil jerih payahnya sejak umur 20 tahun. Menurut ceritanya, tahun 1937 Cagar Alam Pulau Dua hanya memiliki luas 8 hektar dan kini sudah mencapai luasan 30 hektar. Penambahan luasan ini karena proses endapan tanah atau disebut tanah timbul.

Tanah timbul ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena dapat terabrasi kembali. Karena itu dibutuhkan penanaman tanaman pinggir pantai, seperti mangrove atau api-api. Pak Madsai tak henti-hentinya menanam mangrove atau api-api di tanah timbul ini sehingga dampaknya terlihat pada cagar alam saat ini.

Tanah timbul tersebut bergabung dan resmi menjadi Cagar Alam Pulau Dua tahun 1984 sehingga mempermudah Pak Madsai menjaganya. Sebagian besar ancaman terjadi dari aktivitas manusia, seperti penebangan kayu dan tambang pasir. Serta perburuan burung dan pengambilan telur burung karena cagar alam ini juga dikenal sebagai pulau burung. Tercatat tahun 2011 sebanyak 131 spesies yang teramati. “Sekarang ini saya sudah tidak melihat burung manyar, entah karena apa”, kata Pak Madsai.

Tahun 1983 akhirnya ia diangkat sebagai pegawai negeri. Walau hanya tamatan Sekolah Dasar, beliau dianugerahi kembali Satya Lencana Pengabdi Lingkungan tahun 1995. Ia pun diberangkatkan haji. “Saya tidak mengerti penghargaan yang diberikan itu”, ungkapnya dengan kesederhanaannya, “saya hanya penjaga hutan mba, disini yang jaga cuma 3 orang saja jadi siapa lagi yang harus menjaga”. Walaupun menerima segala prestasi, Pak Madsai tidak bosan dan henti-hentinya menjaga Cagar Alam Pulau Dua hingga 1 tahun menjelang pensiunnya.Bahkan beliau tetap tinggal di tengah cagar alam walaupun sudah memiliki rumah layak. “Tempat ini harus dijaga terus kalau tidak bisa hancur karena ulah manusia”, jawabnya.

Cita Ariani

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun