melalui impor tiga juta ton per tahun.
Angka konsumsi beras masyarakat Indonesia tersebut merupakan angka tertinggi di kawasan ASEAN dimana rata-rata negara ASEAN lainnya berkisar pada 65 kg sampai 70 kg. Ironisnya, ini tidak sejalan dengan program pemerintah yang menargetkan pengurangan konsumsi beras sekitar 1,5 persen per tahun. Karena itu, perlu dikembangkan cara alternatif baru. Menurut Rachmat, terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi krisis beras, yaitu cara pertama dengan mempercepat atau memacu peningkatan produksi beras. Sedangkan, cara kedua dengan menurunkan konsumsi beras melalui metode subtitusi.
Cara pertama bisa dilakukan melalui tiga hal, yaitu menggunakan bibit yang lebih bagus, pupuk yang lebih berimbang, dan metode penanaman yang lebih baik. Terkait metode penanaman yang lebih baik, dapat dilakukan dengan System of Rice Intensification(SRI). SRI merupakan suatu metode menanam padi dengan menggunakan bibit, pupuk, dan air yang lebih sedikit, namun hasil produksinya lebih tinggi.
Menurut Rachmat, SRI sebenarnya sudah diterapkan di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir, namun dalam skala kecil. Dari total 12 juta hektar lahan, hanya sepuluh persen yang menggunakan metode ini. Oleh karena itu, menurutnya metode ini belum optimal jika belum dilakukan dalam skala besar.
Cara kedua, sambung Rachmat, yaitu menurunkan konsumsi beras melalui metode substitusi. Metode ini juga sudah lama dilakukan di Indonesia, mulai dari subtitusi dari jagung, singkong, sagu, sukun dan sebagainya. Namun, pola konsumsi masyarakat Indonesia dimana “belum makan kalau belum makan nasi” membuat program diversifikasi pangan ini belum berjalan optimal.
Sejalan dengan itu, beberapa bulan lalu, IPB telah membuat diversifikasi untuk memenuhi pola konsumsi Indonesia. Subtitusi ini bernama Beras Analog. Beras ini mirip dengan dengan beras padi, namun berbahan sagu, sorgum, dan jagung. Dari segi rasa dan cara memasak, Beras Analog ini tidak jauh berbeda dengan beras biasa, namun warnanya masih berwarna kuning. Selain itu, berbeda dengan beras biasa, Beras Analog lebih tahan lama dan tidak perlu dicuci.
Menurut Direktur Food Technopark Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Slamet Budijanto, Beras Analog mulai dikomersialkan bulan Juni 2012 kemarin. Industrinya berada di Jawa Timur. Untuk sementara bahan baku yang dipilih sorgum, jagung, dan sagu walaupun bisa menggunakan bahan baku lainnya seperti umbi-umbian dan bahan lainnya.
Beras Analog memiliki keunggulan dari komposisi bahan baku dibandingkan beras padi biasa. Sorgum dipilih karena memiliki indeks glikemik yang rendah. Indeks glikemik adalah dampak makanan terhadap kadar gula darah. Makanan yang memiliki indeks glikemik rendah akan lambat meningkatkan kadar gula dalam darah. Artinya, Beras Analog ini menyehatkan terutama bagi penderita diabetes.
Bahan baku lainnya, seperti jagung juga memiliki kandungan protein lebih tinggi 6-8 persen dibandingkan beras biasa. Walaupun sagu tidak memiliki kandungan protein, tetapi indeks glikemik sagu dan jagung juga rendah. Sehingga, kandungan serat pada Beras Analog cukup tinggi untuk memperbaiki saluran percernaan.
Dari segi ketahanan lingkungan, sorgum tahan terhadap tanah kritis, seperti daerah kering Nusa Tenggara. Tanaman sagu juga tumbuh pada lingkungan air payau dan cocok untuk menahan abrasi. Dengan demikian, mengonsumsi beras analog, juga berkontribusi terhadap perbaikan lingkungan. Paling tidak, dapat memperbaiki gizi masyarakat yang memiliki kandungan protein tinggi.
Menurut Slamet, kandungan gizi Beras Katalog dapat disesuaikan. Kadar protein, serat, dan antioksidanya dapat disesuaikan dengan bahan baku lokal daerah. Seperti, sumber karbohidrat dapat diperoleh dari tepung ubi kayu, ubi jalar, talas, garut, ganyong, hotong, dan sagu aren. Sumber protein dapat ditambahkan dari tepung kedelai, kacang merah, atau jenis kacang-kacangan lain. Serat makanan bisa diperoleh dari bekatul.
Dengan berbagai kelebihan yang ada, Beras Analog bisa dikembangkan secara luas apalagi kekayaan biodiversitas Indonesia berupa aneka tanaman sumber karbohidrat, protein, dan serat menjadi modal nyata. Sayangnya, karena bahan baku dan proses pembuatannya masih skala kecil, harga beras analog relatif tinggi, Rp 9.000 hingga Rp 14.000 per kilogram.
Cita Ariani
*Diambil dari beberapa sumber