Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Kiai Ngising Berdiri, Santri Ngising Berlari

29 Agustus 2014   14:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:11 255 2
"Pak Kiai, caranya biar bisa sabar, ikhlas, dan selalu bersyukur itu gimana ya, Kiai?" kata seorang santri kepada Kiai-nya setelah sejenak mencium tangannya. Jamaah yang lain beberapa ada yang sudah meninggalkan masjid. Sejenak Pak Kiai tersenyum dan tetap berjalan pelan menuju kediamannya tak jauh dari masjid, si santri pun mengikuti. "Oh, gampang itu," kata Pak Kiai sambil melipat sorbannya. "Gimana caranya Kiai?" tanya si santri itu, sambil mengikuti jalan Kiai-nya. "Melakukannya itu mudah sekali, tapi menyadarinya itu yang sulit." "Tapi kok rasanya kok sulit sekali ya bisa sabar, Kiai. Saya ini suka gampang menggerutu kalau kena musibah. Selain itu kalo saya ngasih sedekah ke orang lain, saya selalu berusaha biar kelihatan ikhlas, dan susah sekali untuk mensyukuri nikmat yang sudah saya dapat Kiai..." kata si santri lagi mengejar, sekaligus mengejar jalan Pak Kiai. "Tapi tanpa sadar kamu itu sudah sering mengamalkannya kok sebenarnya," kata Pak Kiai, kali ini ia berhenti. "Maksud Kiai?" "Nanti aku beri jawabannya, nanti coba kalo kamu ba'da buang hajat, kamu datang lagi," kata Pak Kiai. Si santri tentu saja bingung dengan maksud Pak Kiai. "Baik, ba, baik, Kiai..." jawab si santri bingung sekaligus heran sambil undur diri. Tentu saja heran, selama ini penentuan waktu janjian atau berkumpul jika menggunakan istilah "ba'da" atau "sehabis" itu diiringi dengan waktu sholat; ba'da ashar, ba'da maghrib. Namun Pak Kiai justru menentukan waktu dengan iringan waktu yang aneh; ba'da buang hajat? ----000--- "Sudah buang hajat kamu?" tanya Pak Kiai begitu melihat si santri mendatanginya sore itu di kediamannya. "Sudah Kiai," jawab si santri. "Bagus, itulah jawaban dari pertanyaanmu ba'da dhuhur tadi," kata Pak Kiai. Tentu saja si santri clingak-clinguk kebingungan mendengarnya. "Ta, tapi Kiai..." "Kenapa?" tanya Pak Kiai lagi. "Saya ini pengen tahu caranya biar bisa sabar, ikhlas, dan selalu bisa bersyukur. Kok malah disuruh buang hajat Kiai?" Pak Kiai tersenyum. "Ya itu jawabannya," kata Pak Kiai lagi, yang makin membuat si santri kebingungan. "Kamu tadi buang hajat di mana?" kata Pak Kiai tiba-tiba. Si santri agak kikuk menjawabnya, "Ya di jamban Kiai." "Lha perjalanan dari kamar kamu di lantai empat sampai jamban itu lumayan jauh, lho? kok kamu mau jauh-jauh ke jamban?" tanya Kiai lagi. "Ya maulah Kiai, masak buang hajat di kamar." "Berarti kamungampetselama beberapa menit untuk ke jamban ya?" "Tentu saja, Kiai." "Wah, ternyata kamu sabar juga ya, Nak?" kata Pak Kiai. Mendengar itu si santri sedikit tersenyum dan menyadari bahwa inilah yang dimaksud Pak Kiai daritadi. "Terus... tadi kamu sewaktu buang hajat, kamu pengen masukan lagi gak kotoranmu itu ke duburmu?" kata Pak Kiai lagi. Hampir saja si santri lupa diri karena akan tertawa, untung ia masih bisa menahan diri. "Yandakto, Kiai. Masa' saya mau memasukkan lagi," kata si santri. "Berarti kamu ikhlas bener itu kotoran gak kembali lagi ke duburmu?" "Ikhlas, Kiai. Sungguh," tanya si santri mantap. "Nah kan, kamu ternyata bisa ikhlas juga ya... hebat, hebat..." kata Pak Kiai memuji. "Sudah kan? Pertanyaan kamu sudah terjawab semua," kata Pak Kiai hendak masuk kediamannya. "Ta, tapi, Kiai. Masih ada satu lagi," kata si santri. Sejenak Pak Kiai berhenti dan tersenyum kecil. "Oiya, lupa... Apa tadi?" "Soal rasa syukur Kiai," kata si santri. "Hmmm... di lubuk hatimu paling dalam, tadi kamu bersyukur ndak waktu buang hajat?" tanya Pak Kiai. "Iya Pak Kiai,wongenak kok," kata si santri. "Kalau enak, berarti tidak ada alasan untuk tidak mengamalkan ketiga-tiganya to?" kata Pak Kiai sambil masuk ke dalam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun