Waktu merupakan konsep abstrak yang berfungi untuk memahami dunia dengan cara membaginya ke dalam fragmen-fragmen sehingga setiap peristiwa dan segala sesuatu dapat diidentifikasi. Dunia yang selama ini berusaha kita pahami selalu adalah dunia dalam perspektif kemewaktuan. Sebab manusia hanya bisa memahami yang ada, dan apapun dapat dikategorikan sebagai ada (sejak konsep waktu dilegitimasi) hanya jika menjadi bagian dalam totalitas waktu.
Sekilas tidak ada keganjilan yang mesti dipersoalkan, tapi jika dicermati, kita sebetulnya sedang dihadapkan pada simplifikasi atas realitas yang kompleks. Kategorisasi berdasarkan waktu menjadikan kenyataan---karena fragmentasi tadi, seakan-akan tunggal. Bahkan bisa diulang, diubah, dan diprediksi sesuka hati. Kita menyebutnya perencanaan, sesekali harapan. Lupa bahwa di dunia yang selalu lebih kaos dari apa yang kita sadari, probabilitas adalah tak terhingga.
Dalam segi teknis, penyeragaman berlangsung secara lebih serampangan. Bumi memiliki kecepatan yang tidak teratur dalam orbit lonjongnya. Semata-mata karena dalih kepentingan praktis, diseragamkan dengan acuan Greenwich Mean Time (GMT) di Inggris. Perbedaan antara di timur dan barat, di selatan dan utara, seketika lenyap.
Pada tataran subyek, simplifikasi menyelinap menjadi kesadaran kolektif yang diyakini sebagai kebenaran. Manusia hidup dalam sekat simbol berupa jam, hari, dst., yang lebih dangkal dari waktu itu sendiri. Diam-diam kita menaruh harapan, pergantian waktu (tahun) secara otomatis mengubah keadaan dengan serta merta.
Benar bahwa manusia membutuhkan awalan dan akhir sebagai pangkal eksistensi, tapi keduanya hanya berlaku pada kelahiran dan kematian. Kelahiran adalah titik pertama seseorang mengalami keberadaannya di dunia ini, dan hanyalah kematian yang menjadi akhirannya.
Setelah jarum di Royal Observatory Greenwich berdetak melewati angka 12, dan setelah kembang api bermekaran di langit Ancol lalu tertiup menjadi abu, kehidupan tetap berjalan sebagaimana adanya. Tidak ada yang berbeda selain persepsi terhadapnya. Setiap satu tahun sekali, yang kita rayakan hanyalah ilusi, bukan perubahan.