Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Benarkah Transmigrasi Sebabnya?

1 November 2012   10:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:07 2162 1
Ketika Kompas hari ini memberitakan soal transmigrasi ke Lampung, saya teringat berita sebelumnya yang menuding bahwa transmigrasi adalah salah satu sebab maraknya konflik sosial antar etnik di Indonesia, semua menuding bahwa kesimpulan yang sembrono. Padahal, konflik di Sanggau, Poso, Lampung, Sumsel kerap berada di jalur-jalur transmigrasi ini. Dia telah menjadi sumbu pendek ledakan konflik yang mudah disulut oleh siapa saja dengan berbagai kepentingan.

Dari Lintas Timur Bakauheni sampai Tugu Mulyo Sumsel telah berapa banyak konflik antar etnik di kampung-kampung transmigrasi ini dengan orang asli (semendo, komering, lampung, palembang).

Saya mempelajari sedikit soal peta-peta masa 1900-an dan membandingkannya dengan peta yang ada sekarang. Nampaklah, bahwa jalan-jalan trans nasional yang dibangun, sekolah, pasar dan prasarana lain telah ditempatkan secara tidak adil.

Kegagapan masyarakat asli dalam roda ekonomi baru yang tengah bergulir ini memicu kecemburuan sosial. Berkembang anggapan bahwa para pribumi malas. Bisa jadi, meskipun akan sulit membandingkan jam kerja petani kebun dengan jam kerja petani sawah. Petani sawah tentu lebih ulet dibanding petani kebun. Ketika sekolah, pasar,  RS juga jauh dari titik masyarakat asli juga semakin membuat aneka kemalasan tumbuh.

Faktor kedua dari masyarakat Lampung yang membuat mereka semakin terpuruk adalah ADAT yang MAHAL. Tak sulit menemukan keluarga yang jatuh miskin karena menjalani prosesi adat pernikahan yang sangat mahal dan harus menjual tanah, kerbau, sawah dan rumah.

Faktor lainnya, tidak berkembangnya pendidikan yang baik telah menyebabkan para pemuda di Lampung itu mudah sekali berkelahi, melakukan kriminalitas jalanan dan kenakalan remaja. Kenakalan ini semakin mudah disulut sebab kebiasaan membawa pisau (lading, badik, kuduk) ketika keluar rumah.

Orang diluar suku ini mengenal sebuah persepsi bahwa orang asli adalah sekumpulan pemalas, suka bertindak kriminal, susah diatur dsb. Sementara pada orang Asli berkembang pemikiran bahwa orang pendatang ini tak tau diri, pendatang selalu difasilitasi oleh pemerintah datang tanpa modal lalu diberi rumah, tanah, sawah, sekolah dst.

Apakah ada usaha sungguh-sungguh saling mengenal antar suku di Lampung yang difasilitasi pemerintah. Minim. Semua yang ada karena inisiatif masyarakat sendiri.

Ketertinggalan kemudian semakin jauh. Banyak yang kemudian malu menggunakan bahasa Lampung karena anggapan keliru ini semakin meluas. Sebagian lagi, menggunakan bahasa ini untuk menarik ikatan sosial yang makin eklusif. Tidak heran Balai Bahasa pernah mengeluarkan sebuah peringatan bahwa bahasa lampung meski sedang dipakai jutaan orang akan punah kurang dari 70 tahun lagi.

Misalnya: Kalau naik angkutan dan mendengar sopirnya menggunakan bahasa lampung, penumpang enggan naik, sebab akan ditarik ongkos tidak sesuai tarif, penuh copet, pelecehan dst. Kalau ada orang berbahasa Lampung nongkrong lama di pasar maka awas tokomu barang-barangnya akan hilang.

Apakah sudah pernah diadakan pendidikan dan dialog untuk saling mengenal secara lebih baik soal masyarakat dan suku bangsa kita di Lampung. TIDAK ADA.

Elit Politik daerah justru memakai sentimen ini untuk terus menerus memperkaya diri mereka sendiri sementara rakyat terus miskin dan berjibaku sendiri menafsirkan kehidupan yang semakin keras dan tidak adil pada mereka dan korban tidak bersalah semakin berjatuhan.

Tinggallah harapan pada para pemuda. Mari Benahi

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun